Rabu, Juli 22, 2009

PERGESERAN KELEMBAGAAN PUPUK DI INDONESIA Masa Pra Bimas hingga Masa Reformasi


Pendahuluan

Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam proses produksi produk-produk pertanian. Pupuk yang merupakan asupan unsu-unsur hara tanaman mengalami perkembangan sejak awal digunakannya oleh petani Indonesia hingga saat sekarang, Perkembangan tersebut bukan hanya dari segi sourcesnya yaitu jenis dan kandungan pupuk yang ada tetapi juga dari segi regulasi yang mengatur baik penggunaan maupun pengelolaannya. Demikian pula terhadap kelembagaan/institusi/organisasi yang terlibat. 

Dari segi resources, pergeseran penggunaan pupuk mulai dari pupuk kimia berupa Urea dan ZA menyusul penggunaan pupuk TSP, SP-36,KCL, bergeser ke penggunaan pupuk tablet, pupuk cair kimia hingga ke pupuk-pupuk Organik baik yang padat maupun cair.

Dari Segi kelembagaan (organization) dan Kebijakan dan regulasi-regulasi (Norm), awalnya pupuk dikelola dan didistribusi oleh lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah, hingga pupuk dikelola oleh lembaga-lembaga Swasta privat dan masyarakat..

Tulisan ini mencoba menganalisis Pergeseran kelembagaan Pupuk dari fase-fase pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu Fese Pra-Bimas, Bimas, Inmas, Insus, Supra Insus hingga pada fase sistem Agribisnis dan ketahanan pangan.. 
 
 
1. Pra- Bimas (1945 – 1963)

Sejak awal kemerdekaan (1945-1950) upaya peningkatan produksi perrtanian, utamanya pertanian tanaman pangan mendapat perhatian khusus.Hal ini terkait tentunya dengan peran pertanian sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Upaya peningkatan produksi dilakukan dengan memperbaiki sistem penyuluhan yang menitik beratkan pada tercapainya target produksi dalam waktu yang pendek.
Mengingat situasi negara pada awal kemerdekaan,maka langkah-langkah awal yang ditempuh pemerintah adalah pembentukan dan pembenahan kelembagaan. Kelembagaan untuk mendukung upaya peningkatan produksi mulai direncanakan pada tahun 1947 dengan rencana mendirikan badan penyuluh pertanian yang disebut Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) yang selanjutnya rencana ini diberi nama ”Plan Kasimo”. Namun dengan kondisi stabilitas nasional yang belum stabil pada saat itu, gagasan tersebut baru dapat dilaksanakan pada tahun 1950.
Dalam kurun waktu tersebut, sarana produksi, utamanya bibit, pupuk dan pestisida disiapkan oleh negara dalam hal ini menjadi beban dari program pemerintah. Oleh karena itu, karena keterbatasan dana akibat kondisi ekonomi yang sangat buruk, serta sistem sarana prooduksi yang tidak baik, program yang melaksakanan penyuluhan dengan sistem ”tetesan minyak” atau ”Olie vlek” tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan, produksi padi kecil dan lamban dan target swasembada pangan pada tahun 1961 tidak tercapai.
 Dengan kondisi tersebut, pemerintah kembali membentuk lembaga yang disebut Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) yang langsung dipinpin oleh Presiden Soekarno. Juga dibentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) untuk mengatasi sarana pertanian yang buruk.Lembaga ini dibentuk dari pusat hingga desa dan dipinpin oleh Menteri Pertanian di tingkat pusat, masing-masing kepala daerah di masing-masing daerah dan Pamong Tani Desa (PTD) di desa.
Dalam rangka penyiapan sarana produksi pertanian termasuk bibit, pupuk dan pestisida, pada tahun 1959 pemerintah membentuk lembaga yang disebut Badan Perusahaan Makanan dan Pembuka Tanah (BMPT) yang memiliki dua anak perusahaan masing-masing Padi Centra dan Mekatani. Tugas Padi centra adalah mengadakan, menyalurkan dan menyediakan sarana produksi sepertibibit unggul,pupuk dan obat-obatan. Padi Centra selanjutnya berubah nama menjadi Padi Sentra, PN. Pertani dan terakhir PT. Pertani. Sementara itu, Mekatani bertugas membuka lahan-lahan baru terutama di luar Pulau Jawa.
Dapat dilihat dalam fese ini, kelembagaan pupuk masih didominasi oleh pemerintah dalam hal ini pengadaan, penyaluran serta penyediaan dilakukan oleh Padi Centra yang dibentuk oleh pemerintah, lembaga masyarakat maupun lembaga privat belum tersentuh.
 
2. Program Bimas (1964 – 1979)

Program Bimas diawali dengan program Demonstrasi Massal Swasembada bahan makanan (Demas SSBM) pada MT1964/1965) pada areal sawah seluas 11.066 ha yang tersebar pada 204unit di Jawa dan luar jawa, melibatkan sekitar 400 mahasiswa dari delapan fakultas pertanian dan akademi Pertanian Ciawi. Hasil Demas SSBM sangat baik dan akandilanjutkan pada tahun 1965/1966.Karena sasaran Demas sudah sangat luas, sekitar 150.000 ha maka organisasi demas ini harus lebih banyak dan lebih kuat. Oleh karena itu pada tanggal 14 Juli 1965, Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) mengambil alih tanggung jawab Demas SSBM. Selanjutnya dibawah KOTOE dilakukan perubahan-kelembagaan antara lain :
a. Nama Demonstrasi Massal (Demas) SSBM diganti dengan Bimbingan Massal (Bimas) SSBM.
b. Koperta adalah pelaksana utama Bimas SSBM

Selanjutnya perubahan nama Bimas menjadi Bimas Nasional, Bimas Gotong royong, Bimas Nasional yang disempurnakan dan terakhir Insus dan Supra Insus.
Perubahan-perubahan kelembagaan Bimas disebabkan beberapa hal, antara lain : 1) latar belakang pembentukan atau perubahannya, 2) pengorganisasiannya, 3) target dan realisasinya, 4) penyaluran sarana produksinya, 5) pengembalian kredit dan 6) sistem penyuluhannya.
 Disebut Bimas Nasionalkarena baru pertamakali Bimas dilakukan secara besar-besaran, secara nasional. Disebut Bimas Gotong Royong yang dimulai pada tahun 1968/1969 karena adanya kerjasama pemerintah dengan perusahaan swasta asing, terutama dalam hal pendanaan. Dalam periode ini dikenal Bimas CIBA, Bimas COOPA, Bimas HOECHST dan Bimas MITSUBISHI.
 Bimas Gotong Royong yang disempurnakan mulai pada tahun 1970/1971 dengan perbaikan dan penyempurnaan kelemahan-kelemahan Bimas gotong royong sebelumnya, antara lain :
1. Penempatan tenaga penyuluh lapangan (PPL) lulusan SPMA diperbanyak sehingga setiap kecamatan memilikinya,
2. Pelayanan kredit melibatkan aparat Bank dalam hal ini BRI dan langsung diberikan kepada petani perorangan.
3. Kios-kios pelayanan sarana produksi didirikan untuk setiap wilayah unit desa dan,
4. Memperhatikan pengolahan hasil dan pemasaran.

Keempat unsur ini dikenal dengan Catur Sarana yang kemudian ditampung dalam suatu badan usaha yang dikenal dengan Badan Usaha Unit Desa (BUUD).
Dengan ke berhasilan program Bimas maka pada tahun 1969 dibentuk kelembagaan di tingkat Pusat yaitu Badan Pengendali Bimas, ditingkat propinsi Badan Pembina Bimasdan di tingkat kabupaten Badan Pelaksana Bimas. Berkat kerja keras pada tahun 1984 cita-cita swasembada beras tercapai.
 Pada priode ini kelembagaan Pupuk (sarana produksi secara umum) terjadi pergeseran. Jika pada fase Pra-Bimas seluruhnya dimonopoli oleh pemerintah (Padi Centra), mulai bergeser ke lembaga komunitas, yaitu Koperta dan BUUD. Pergeseran kelembagaan ini tentunya tidak terlepas dari kondisi ekonomi secara umum mulai membaik,serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang mulai terintegrasi dengan perguruan tinggi serta hubungan-hubungan dengan negara-negara atau lembaga-lembaga donor.

3. Intensifikasi Khusus dan Supra Insus (1980-1990)

Sebenarnya tiga macam program intensifikasi padi sawah bersamaan, yaitu Intensifikasi Massal, Intensifikasi Umum dan Intensifikasi khusus. Intensifikasi khusus merupakan pelaksanaan Bimas oleh petani penggarap sehamparan secara berkelompokagar lahan sawah dapat dengan optimal dimanfaatkan. Kegiatan kelompok tani semuanya direncanakan,mencari informasi dan menyebarkannya, memantau dan memimpin anggotanya serta berhubungan dengan pihak luar untuk kepentingan anggotanya. 
Tahun 1986, dirumuskan program yang secara operasional dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas yaitu :
1. Memperluas areal yang memakai benih bersih bermutu dan memperbanyakpopulasi tanam.
2. Memperluas areal usahatani yang menerapkan pemupupukan berimbang dengan dosis dan waktu yang tepat.
3. Memperluas areal yang memakai zat pengatur tumbuh dan pupuk pelengkap cair.
4. Mengendalikan hama dan penyakit tanaman dengan menerapkan ”Integrated Pest Control” atau Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
5. Meningkatkan mutu pengolahan tanah untuk menjamin terlaksananya pola dan jadual tanam yang telah ditetapkan 
Dalam Supra Insus, perwilayahan pertanian diintegrasikan dengan wilayah administratif. Hal ini dapat dilihat dari organisasi penyelenggara,yang dikordinasikan di bawah tanggung jawab masing-masing kepala daerah selaku pembina/pelaksanan Bimas> Penggerak program tersebut adalah kepala wilayah atau daerah utama. Unsur-unsur penggerak Supra Insus adalah kepala dinas/instansi yang menjadi anggota satuan pembina/pelaksana Bimas, unsur pelaksananya terdiri dari kelompok tani, KUD, penyuluh pertanian dan perbankan, khususnya BRI.
Dalam fase ini, khusus Pupuk, terlihat adanya pergeseran kebijakan (norm) untuk menggunakan sumberdaya (Resources) yang ada. Jika pada saat Bimas, pupukyang dianjurkan baru sebatas pupuk padat, padafase insus dan supra insus sudah menganjurkan pemakaian pupuk berimbang dengan dosis dan waktu yang tepat serta pupuk cair.
Dengan adanya pergeseran kebijakan tersebut tentunya juga menyebabkan perubahan lembaga penyedia pupuk. 
 
4. Sistem Agribisnis dan Ketahanan Pangan (1990 –sekarang)


 Sistem Agribinis menjawab tantangan pembangunan pertanian di era lingkungan perekonomian yang semakin kompetitif. Paradigma pembangunan pertanian juga telah bergeser dari proses mekanistik meansends scheme ke Self regulating System. Dalam mekanistik meansends scheme keberadaan para pelaku ekonomi diabstraksikan sehingga variabelyang keluar adalah target atau sasaran dan upaya mencapai target. Unsur kepentingan individu atau kelompok baik dalam hal preferensi atau keuntungan kurang mendapat perhatian karena sasaran utama pembangunan adalah peningkatan produksi. Sehingga dengan demikian kelembagaan yang terbagun adalah kelembagaan produksi, termasuk di dalamnya kelembagaan yang menangani Pupuk, peran pemerintah sangat penting.
 Pergeseran paradigma pembangunan pertanian ke arah peningkatan peranserta, efisiensi dan produktivitas masyarakat,mengarah ke konsep sistem agribisnis yang menekankan bekerjanya sistem secara berkelanjiutan didasarkan atas hubungan kemitraan antar pelaku. Dalam penedekatan agribisnis inijuga peran pasar dalam alokasi dan distribusi sumberdaya sudah memegang peranan penting dan oleh karena itu paran dan insiatif individu (privat). Maupun organisasi kemasyarakatan (Civil) menjadi penting.
 Dengan Era Agribisnis, kelembagaan pupuk dapat digambarkan sebagai berikut :

A. Pupuk yang Dianjurkan/Disubsidi (Resources)

Sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 106/Kpts/SR.130/2/2004 tentang kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan Nomor 64/Kpts/SR.130/3/2005 tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat pengecer resmi. Jenis-jenis pupuk yang disubsidi sesuai Kepmen tersebut adalah pupuk Urea, SP-36, ZA dan NPK dengan komposisi 15 : 15 : 15 dan diberi label “Pupuk Bersubsidi Pemerintah.” Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah adalah : Pupuk Urea Rp. 1.050,- per kg; Pupuk ZA Rp. 950,- per kg; Pupuk SP-36 Rp. 1.400,- per kg; dan Pupuk NPK 1.600,- per kg. Jenis pupuk bersubsidi ini disediakan untuk pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan atau Hijauan Makanan Ternak. Perkebunan yang dimaksudkan disini adalah usaha milik sendiri atau bukan, 
Selanjutnya pada tahun 2007, pemerintah melalui Menteri Pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 76/Permentan/ OT.140/12/2007 yang mengatur HET untuk tahun 2007, yaitu masing-masing:
• Pupuk Urea Rp.1200/kg, 
• ZA Rp. 1050/kg
• SP-36 Rp. 1.550/kg
• NPKphonska (15 :15 : 15) Rp. 1.750/kg
• NPK pelangi (20: 10; 10) Rp. 1.830/kg
• NPK Kujang Rp. 1.586/kg
• PupukOrganik Rp. 1000/kg

B. Kelembagaan 

Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi komoditi pertanian untuk mewujudkan program ketahanan pangan nasional, pemerintah merasa perlu untuk menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi saat dibutuhkan petani. Penjaminan pemerintah ini memenuhi prinsip 6 (enam) tepat yaitu tepat jenis,
jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu. Beberapa kebijakan pemerintah dalam penyaluran pupuk antara lain Keputusan Menteri Perindustrian dan Pedagangan Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998 memberikan kewenangan penuh lepada koperasi/KUD menyalurkan pupuk hingga ke petani. Bagan penyaluran pupuk sesuai kebijakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.







   










Gambar 1. StruturPenyaluran Pupuk Berdasarkan SK Menteri Perindag Nomor 378/MPP/KEP/8/1988

Selanjutnya pada tahun 2004 pemerintah telah merubah kebijakan sebelumnya dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004. Kebijakan baru ini memberikan peluang lebih besar kepada pengusaha non-koperasi yang berprinsip profit oriented untuk menjadi pelaku tataniaga pupuk. Bagan penyaluran pupuk sesuai kebijakan baru ini dapat dilihat pada gambar 2.
























Gambar 2. Struktur Penyaluran Pupuk Berdasarkan SK Menteri Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004

Sementara itu, sesuai kebijakan baru pemerintah, walaupun struktur penyaluran pupukmasih seperti tahun 2004 tetapi penekanan diberikan kepada mekanisme pembelian pupuk oleh petani. Mekanisme tersebut dituangkan dalam gambar 3.
 
 











  RDKK




  RDKK 





5. Fakta-fakta Distribusi Pupuk

Beberapa fakta keberhasilan telah dicapai koperasi saat berlakunya Keputusan Menteri Perindustrian dan Pedagangan Nomor: 378/MPP/KEP/8/1998 dimana koperasi/KUD diberikan kewenangan penuh untuk menyalurkan pupuk hingga ke petani. Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2005 melaporkan bahwa pada periode dimana kebijakan di atas berlaku, PT. PUSRI telah menunjuk 2.335 unit KUD sebagai penyalur dan pengecer pupuk kepada petani. Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, penyaluran pupuk berjalan dengan lancar sehingga kebutuhan pupuk petani terlayani dengan baik tanpa ada kelangkaan pupuk ataupun harga pupuk yang tinggi.
Setelah diberlakukannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 dimana penyaluran pupuk diserahkan kepada mekanisme pasar, muncul beberapa permasalahan. Kelangkaan pupuk terjadi terutama di daerah sentra produksi beras pada bulan Mei, Juni, Nopember dan Desember 2004 demikian juga menjadi issu di tahun-tahun berikutnya. Tahun 2007, 
Munculnya keluhan petani dari beberapa daerah bahwa ada beberapa distributor yang berkedudukan di luar kabupaten yang menjadi wilayah tanggung jawabnya. Jumlah koperasi/KUD yang terlibat dalam penyaluran pupuk setelah kebijakan baru tersebut menurut data sementara PT. PUSRI, PT. PETRO KIMIA GRESIK dan PT. PUPUK KALTIM hanya tersisia 40 % atau 934 unit koperasi (Kementerian Koperasi dan UKM, 2005). Media Industri dan Perdagangan pada Maret 2006 menyebutkan bahwa hampir setiap tahun khususnya menjelang musim tanam padi, Indonesia dilanda isu kelangkaan pupuk di berbagai daerah. Isu kelangkaan pupuk yang hampir terjadi secara berulang setiap menjelang musim tanam padi disebabkan oleh: (1) turunnya produksi pupuk akibat gangguan pasokan gas bumi dan adanya gangguan teknis pabrik, (2) terjadinya peningkatan kebutuhan pupuk nasional terutama di Pulau Jawa, (3) beberapa produsen dan distributor pupuk tidak melaksanakan Keputusan Menperindag Nomor 70/MPP/Kep/2/2003 secara penuh, (4) adanya disparitas harga pupuk urea antara pupuk bersubsidi untuk
petani dengan pupuk untuk perkebunan dan industri, dan (5) sejumlah pedagang pengumpul menjual pupuk urea bersubsidi kepada pihak perusahaan swasta besar (perkebunan atau industri) atau bahkan menyelundupkannya ke luar negeri. Beberapa pengurus KUD dan KTNA pada musim tanam 2005/2006 menyebutkan bahwa monopoli penyaluran pupuk oleh pihak swasta begitu berat dan tertutup. Penyaluran pupuk bersubsidi bahkan pupuk non-bersubsidi-pun dilakukan oleh para distributor yang sama dan tidak transparan. Karena itu kondisi tersebut sulit diawasi. Kariyasa dan Yusdja (2005) menyebutkan bahwa di Jawa Barat kelangkaan pupuk dan kenaikan harga pupuk terjadi disebabkan oleh sistem distribusi pupuk yang tidak efektif. Pengaturan sistem distribusi pupuk memiliki tujuan agar petani dapat memperoleh pupuk dengan enam azas tepat yaitu tepat tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana penyaluran dan realisasi.
Realisasi penyaluran pupuk baik di atas maupun dibawah rencana akan menyebabkan terjadi langka pasok dan lonjak harga baik antar musim maupun antar daerah. Sebagai contoh, realisasi penyaluran pupuk di atas rencana pada bulan-bulan tertentu akan menyebabkan kekurangan pasok dan lonjak harga pada bulan-bulan lainnya, mengingat pupuk urea bersubsidi jumlahnya sudah ditentukan sebelumnya. Demikian juga, realisasi penyaluran pupuk pada beberapa kabupaten sudah di atas rencana menyebabkan terjadi langka pasok dan lonjak harga pada kabupaten lainnya. Selain masalah pasokan atau jumlah dan harga, enam azas tepat lainnya yang dapat dipastikan tidak dipenuhi dengan adanya ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi penyaluran adalah tempat, jenis dan waktu. Hanya aspek mutu saja yang diduga bisa terpenuhi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kinerja penyaluran pupuk di lini IV (pengecer atau kios resmi) selain sangat ditentukan oleh pengecer itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh kinerja dan pola pendistribusian yang dilakukan oleh distributor pada lini III. Perilaku distributor dalam menyalurkan pupuk ke para pengecernya sangat beragam. Keragaman ini sangat ditentukan oleh kedekatan pengecer kepada distributor dan juga kebijakan intern dari masing-masing distributor itu sendiri. Jumlah permintaan pupuk yang dilakukan oleh pengecer kepada distributor sebenarnya tidak berdasarkan kebutuhan yang pasti di tingkat petani. Jumlah permintaan pupuk menurut musim lebih banyak ditentukan berdasarkan pengalaman jumlah permintaan pada musim-musim tahun sebelumnya. Berdasarkan pengalaman ini para pengecer melakukan pemesanan pupuk kepada masing-masing distributornya yang dituangkan dalam bentuk delivery order (DO). Melalui DO ini biasanya distributor mengambil pupuk ke gudang produsen (PT. Kujang dan PT. Pusri) dan terus mendistribusikan ke para pengecer sesuai permintaan dan pasokan pupuk. Atau pengecer cukup membawa DO dari distributornya, sudah diijinkan untuk mengambil pupuk langsung ke gudang produsen. Kelangkaan pupuk juga terjadi karena kurang adanya koordinasi antara dinas di kab/kota dengan pemerintah daerah sehingga informasi tentang ketersediaan pupuk pun menjadi terhambat. Sering terjadi kelangkaan pupuk namun di kios-kios ada tersedia pupuk tetapi dengan sistem ijon sehingga harga pupuk jauh lebih mahal. Media cetak Kompas pada bulan Desember 2005 melaporkan di Bojonegoro, Jawa Timur, petani harus antri berjam-jam untuk mendapatkan pupuk. Bahkan, mereka harus menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP). 
Untuk mencegah terjadinya kelangkaan Pupuk pemerintah telah menetapkan prosedur pembelian pupuk bersubsidi dengan menghitung kebutuhan pupuk bersubsidi sesuai abjuran atau estándar teknis.Kebutuhan pupuk bersubsidi diajukan oleh petani/pekebun berdasarkan Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang disetujui oleh petugas teknis, penyuluh atau kepala cabang dinas (KCD) setempat. RDKK disusun atas dasar rencana kebutuhan pupuk bersubsidi oleh kelompok tani sesuai rekomendasi teknis pemupukan.

6. Perubahan Lingkungan Strategis
Dari pembahasan perubahan fase pembangunan pertanian dari para-Bimas, Bimas, Insus-Supra Insus hingga masa program agribisnis dan ketahanan pangan nampak bahwa kelembagaan yang terlibat dalam mekanisme penyediaan, pengadaan serta distribusi pupuk telah bergeser dari fase dominasi lembaga pemerintah (Goverment) terutama pada masa para-bimas dan bimas, mengarah ke pemberian ruang pada lembaga masyarakat (Civil), utamanya KUD dan BUUD pada fase Insus-Supra Insus dan sekarang, fase agrbisinis dan ketahanan pangan mengarah pada lembaga individu dan pasar (Privat).
Pergeseran lembaga-lembaga yang mengurus Pupuk tersebut tidak terlepas dari kondisi lingkungan strategis pada saat itu. Pada Era Pra-Bimas, Indonesia baru saja lepas dari penjajahan dan pemerintah bertekad memulihkan perekonomian dengan cepat, dimana kondis ekonomi saat itu sangat buruk ditambah dengan konflik-konflik seperti konflik dengan Malaysia dan pembebasan Irian Barat. Oleh karena itu lembaga-lembaga yang terlibat dalam pembangunan pertanian, belum terspesifikasi (Padi Centra) dan masih memegang sistim komando dengan adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) yang diketuai langsung Presiden Soekarno.Jadi dapat dikatakan bahwa peran utama kelembagaan pertanian  
Pada Era Bimas, kelembagaan mulai bergeser dengan memberi ruang ke masyarakat civil, yaitu dengan adanya KUD yang mengurusi seluruh sarana produksi, termasuk pupuk. Pada Era ini nampak adanya transisi peran pemerintah ke peran masyarakat. Pemerintah masih setengah hati melepaskan masalah kelembagaan sepenuhnya dikelola masyarakat, terbukti dengan regulasi-regulasi mengenai KUD berasal sepenuhnya dari pemerintah. Adanya toleransi terhadap pelepasan sebagian “kekuasaan” pemerintah dalam hal kelembagaan tidak terlepas dari lingkungan strategis pada saat itu, yaitu munculnya kekuatan dan ide-ide dari kampus,dan mulai munculnya lembaga swadaya masyarakat (LSM), sedikit pulihnya perekonomian serta situasi politik yang relatif aman sehingga kerjasama dengan luar negeri juga sudah dapat dilakukan.
Pada Era Agribisnis dan ketahanan pangan, pergeseran kelembagaan ke arah peran civil dan pasar dominan, Hal ini disebabkan beberapa faktor lingkungan strategis, antara lain gencarnya kampanye pemberlakuan pasar bebas, tekanan reformasi di segala bidang, serta adanya tekanan negara-negara donor. Demikian pula dengan Sources pupuk, yang bergeser dari pupuk kimia (baik padat maupun cair) ke pupuk organik tidak terlepas adanya fenomena global kembali ke alam, serta tekanan-tekanan LSM lingkungan.

7. Implikasi
Adanya pergeseran kelembagaan Pupuk di Indonesia berimplikasi kepada :
1. Bergesernya peran pemerintah selaku executing agency menjadi fasilitators agency.
2. .Terjadinya transisi prilaku petani dari sifat pasrah dan patuh menerima pupuk yang tersedia dan dianjurkan kenjadi petani yang lebih proaktif.
3. terjadinya potensi kelangkaan pupuk akibat permainan pasar (privat) yang tidak mampu dikontrol oleh pemerintah.
4. Terjadinya potensi pergeseran peran penyuluh sebagai publik services menjadi pelaku pasar dan privat services.

 
8. Kesimpulan
Dari analisis pergeseran kelembagaan di atas dapat disimpulkan bahwa pergeseran kelembagaan, termasuk Norma dan Resources sangat dipengaruhi oleh :
1. Situasi Lingkungan strategis suatu daerah, misalnya kondisi politik dan ekonomi yang terjadi saat itu.
2. Tekanan-tekanan dari dalam maupun dari Luar negeri baik dilakukan oleh negara (Goverment) maupun lembaga-lembaga Civil (LSM).



 
 
DAFTAR PUSTAKA

Anonim,1995. Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional, 1969 – 1994, Perhepi, Jakarta.

______, 2008. Kebijakan Pupuk Bersubsidi untuk Perkebunan, http://ditjenbun.deptan.go.id/benihbun/benih Powered by Joomla! Generated: 13 May, 2009, 10:05

Uphoff, Norman, 1986. Local Institution Development, An Analytical Sourcesbook With Cases, Kumarian Press, USA.