Rabu, Juli 14, 2010

Penangkaran Penyu, Benoa, Bali

Tanya Jawab Seputar Teori Sosial dan Masalah Pembangunan

Soal-pertama.

Menurut Watts dan Goodman (1997) serta J. Rigg (2001), memasuki era kapitalisme global dan pasar bebas saat ini, terdapat “agraraian questions” baru yang harus dijawab agar pertanian dapat bersesuai dengan tuntutan baru didalam ia tetap berkontribusi atas keberlanjutan peradaban manusia.

1. Uraikan apa substansi dan konteks dari agrarian question yang dimaksud Watts dan Goodman tersebut, khususnya dalam konteks keterkaitan antara alam, budaya dan industri dalam kemajuan agro-food system lokal, nasional dan global.

Jawab :

Agrarian Question merupakan issu di sektor pertanian yang telah mengalami perdebatan yang sangat lama, bahkan beberapa ahli mengatakan perdebatan ini dimulai sejak peradaban manusia juga dimulai (Wiradi, 1999). Agrarian Question dimulai dengan perdebatan politis diantara internal Partai Sosialis Demokrat Jerman, kemudian masuk dalam ranah akademik yang kemudian melahirkan debat akademik dalam Jurnal “Neue Zei” dengan redaktur Karl Kautzky (1889 – 1917) dan melahirkan buku yang sangat terkenal yang dikarang oleh Karl Kautzky sendiri pada tahun 1889 yaitu ”The Agrarian Question”.

The Old Agrarian question, secara umum menjelaskan masalah pertanian dan pertanahan di negara-negara Eropa, seperti Prancis, Jerman, Austria, Rumania, Denmark, Swedia dan Irlandia terutama pasca “Revolusi Eropa” yang dianggap gagal karerna hanya dalam waktu kurang lebih satu tahun seluruh “pemberontakan itu” dapat dipadamkan. Demikian pula dengan dihapuskannya “serfdom” di Rusia pada tahun 1861, kemudian muncul pandangan-pandangan bahwa kapitalisme telah menghancurkan sektor pedesaan atau industrialisasi telah menghancurkan industri kerajinan di pedesaan, yang diduga akan menghancurkan pasar dalam negeri akibat penarikan pajak di pedesaan untuk membiayai industrialisasi tersebut, semuanya disimpulkan sebagai suatu bentuk transisi pertanian ke kapitalisme.

The New Agrarian Question menurut Watts dan Goodman sebenarnya merupakan penyempurnaan dari the old agrarian question-nya Kautsky yang merupakan sebuah kerangka pertanyaan politik yang masih mementingkan para pemilih pedesaan. Satu abad kemudian politik pertanian juga merupakan suatu thema yang dikembalikan oleh para analis dalam konteks tiga peroses sistemik dunia, yaitu : 1) Liberalisasi dan neoliberalisasi Perdagangan, 2) Perubahan demokratisai pasca-perang dingin, dan 3) kirisis pembangunan lingkungan.

Liberalisasi perdagangan dan neoliberalisasi ditandai dengan adanya General Agreement on Trade and Tarrif (GATT) dan Urugay Round yang merupakan awal dari perdagangan bebas. Globalisasi yang merupakan konsekwensi perkembangan kemajuan ekonomi dunia yang mengarah pada sistem ekonomi pasar bebas mendapakaan perhatian khusus pada konfrensi pangan kedua di Roma tahun 1996, Era globalisasi ditandai dengan tidak adanya lagi sekat antar negara sehingga politik ekonomi Internasional mengarah pada regionalisasi seperti Uni Eropa, NAFTA dan APEC serta terdapatnya sistem perdagangan tiga serangkai “Amerika Utara-Eropa Barat dan Jepang” yang berkonsentrasi pada produksi dan investasi internasional (Production and Foreign direct investment). Perubahan yang cepat pada persaingan global tersebut dan terfokus pada dukungan terhadap bentuk organisasi dan konfigurasi produksi internasional.

pada periode ini, Agrarian question bukan hanya pada seputar pencapaian keuantungan komparative terhadap ekonomi nasional tetapi pada subtitusi politik (pemindahan beberapa komoditi pertanian), pembatasan replikasi dan apa yang disebut dengan reklamasi.

Selanjutnya terdapat pula sejumlah konsentrasi pembangunan yang dipusatkan pada masyarakat sipil dan modal sosial (Evans 1995, Fukuyama 1995). Yang pertama disebut sebagai “pergerakan petani baru”. Mereka “baru” dalam pemikiran bahwa mereka adalah petani, bukan buruh tani seperti dalam konstitusi. Mereka fokus pada harga-harga bukan tanah, bekerja non partisan dan seringkali konsern terhadap perempuan dan lingkungan. Menurut Varshney 1994 dalam Watts dan Goodman, 1997 perubahan-perubahan tersebut merupakan produk dari demokrasi yang mendahului industrialisasi.

Bentuk kedua pada “politik petani” berkonsentrasi terhadap regulasi yang membendung konsumsi kolektif. Di sini produksi terbentuk dengan perhatian pada lingkungan, kesehatan, keamanan, etika dan diet. Oleh karena itu konsumen sangat memperhatikan kemungkinan para para petani kecilmendapatkan legalitas, karena merekalah yang dapat memproduksi secara alami dan menjaga kelestarian alam. Di sini juga disampaikan bahwa produk-produk pertanian organik dapat ditingkatkan dengan memperhatikan perusahaan korporasi dan transisi agribisnis. Produk organik dan komoditi-komoditi yang alami dalam WTO akan menjadi ranah politik. Goodman dan Watts, 1994 mensinyalir bahwa sewaktu-waktu tekanan politik baru tersebut—sebagai penyeimbang dari paham produktivitas atau yang disebut dengan Agriculture fordist—dapat dilebih-lebihkan walauopun hal tersebut tidak selamanya menggambarkan regulasi dan perjuangan politik di dalam sistem pangan.

Terakhir, menyangkut pertanyaan mengenai bagaimana perubahan pertanian dan pedesaan keluar dari kerumitan. Keadaan masyarakat sipil dalam sosial capital yang dibangun dari bawah, berbasis masyarakat, menjalin hubungan dengan organisasi kemasyarakatan, desentralisasi dan lain-lain, yang semuanya merupakan dampak dari neoliberalisme yang seringkali memaksa negara atas nama pengendalian fiskal atau penyempurnaan pasar. Reformulasi tersebut membawa agen sosial dari sayap-sayapnya yang biasa dikenal sebagai akibat dari pembangunan yang merupakan wilayah dari kritik sosial dan teori budaya.

2. Uraikan substansi dan konteks dari agrarian question yang muncul dari dinamika pertanian dan perdesaan Asia Tenggara sebagaimana diilustrasikan Rigg (2001).

Jawab:

Pertanyaan agrarian yang muncul di Perdesaan Asia Tenggara memang agak berbeda dengan yang terjadi di Eropa. Hal ini didasari perbedaan kemajuan pembangunan ekonomi dengan dikotomi negera maju untuk Eropa dan negara sedang berkembang sebagai simbol ekonomi negera-negara Asia Tenggara Demikian pula jika berbicara mengenai pedesaan di Asia tenggara, setidaknya tiga masalah yang perlu diperhatikan, antara lain kehidupan bermasyarakatnya mempunyai perbedaan yang kontras antara kehidupan masyarakat kota (urban) dengan masyarakat peredesaan (rural). Dicontohkan oleh Mills, 1997; 48 dalam Rigg, 2001;3 bahwa masyarakat perkotaan di Bangkok tidak dapat dipercaya, dan mereka hanya memikirkan dirinya sendiri. Di perkotaan tidak saling mengenal satu sama lainnya, sementara di perdesaan mereka saling mengenai, mereka berkembang bersama, saling mengetahui asal usul dan latar belakangnya sehingga mereka saling percaya.

Keadaan tersebut di atas merupakan pijakan dalam melihat substansi dan konteks agrarian-question di perdesaan Asia Tenggara. Agrarian question di Asia Tenggara tidak hanya secara kontekstual dapat dijelaskan melalui kondisi-kondisi spesifik seperti sejarah, kondisi sosial ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan spekulasi-spekulasi yang ada sebagai suatu pertanyaan. Oleh karena itu pertanyaan agraria dapat dilihat dalam berbagai konteks sehubungan dengan dinamika pertanian di Asia Tenggara.

Secara umum, awalnya kehidupan pedesaan yang masih didominasi dengan pola pertanian subsisten mempunyai pola agrarian questoin tidak serumit dengan pola setelah berkembangnya masyarakat desa akibat arus globalisasi yang tidak terbendung. Masalah polarisasi agraria yang dimulai dengan sejarah penguasaan tanah oleh para penjajah yang kemudian juga didistribusikan “sedikit” kepada kaum pribumi yang bekerja atau punya hubungan khusus dengan penjajah dan kemudian melahirkan tuan-tuan tanah. Tuan-tuan tanah tersebut mempekerjakan para buruh tani dengan pola hubungan patron-klien dengan upah, maupun bagi hasil.

Dinamika sosial dan ekonomi usaha tani keluarga sebagai ciri pertanian di Asia Tenggara, khususnya kecenderungan usahatani secara berkala yang di kembangkan, juga dipandang sebagai komponen penting usahatani. Moran dkk menyatakan perlunya mengetahui hubungan antara usahatani dan usaha keluarga tani (1993: 32-33). Siklus hidup usahatani keluarga memiliki dampak bagi kegiatan usahatani. Hal ini berlaku misalnya bagi ketersediaan tenaga kerja usaha pertanian dan pola konsumsi serta pengeluaran (keluarga muda lebih cenderung memperoleh pendapatan yang lebih sedikit dan menghadapi kebutuhan dan pengeluaran yang lebih besar). Transfer usahatani antara generasi juga menciptakan kualitas usahatani dari satu generasi ke generasi berikutnya, di mana usahatani di pandang sebagai sistem produksi yang tetap tidak banyak berubah. Pada contoh lain, para ahli menekankan bahwa usahatani tidak begitu banyak ”diwariskan”, melainkan ”dipola kembali” (Roberts 1996: 407-408).

Namun demikian, kendati usahatani keluarga dapat terus mendominasi produksi berbasis lahan, agro-industrialisasi dapat melaksanakan usahatani dari level bawah dan atas. Ketidak mampuan utuk mentransformasikan usahatani dari berbagai faktor atau alasan yang di kemukakan di atas, modal digunakan untuk meraup nilai tambah melalui proses paralel ”kesesuaian: dari bawah dan ”subtitusi” dari atas (Goodman dkk 1987). Input-input yang di butuhkan dalam usahatani – agro-kimia, benih baru, mekanisasi dan sejenisnya– telah ”disesuaikan” oleh produsen yang memproduksi input-input ini menurut kondisi industri untuk suplay kebutuhan usahatani. Seiring dengan itu, pihak pembeli output usahatani mengalami peningkatan permintaan hanya untuk kebutuhan komoditas pokok, dengan segala proses selanjutnya, di bawah sistem industrial. Ditinjau secara historis, proses subtitusi ini dapat dilihat pada pengembangan usaha pemerosesan terigu, pengalengan dan pendinginan, dan subtitusi komoditas pertanian pada produk-produk seperti mentega (margarine) dan serat (Goodman dkk 1987). Proses pengembangan aktivitas industri ini dihubungkan dengan pengembangan pertanian pada skala yang lebih besar. Pelaku industri dan wiraswasta meningkatkan kontrol mereka yang efektif (langsung maupun tak langsung) terhadap tenaga kerja usahatani (Page 1996 :381-382). dengan mengetahui dan menerapkannya, modal yang di gunakan dapat di peroleh dari nilai surplus dari usahatani. Dalam pengertian ini, usahatani keluarga, dapat menghasilkan keuntungan. Usaha ini tetap bertahan jika dapat mengelola dan menanggung resiko tenaga kerja dan proses alamiah yang belum digolongkan secara memadai sebagai input industri” (Roberts 1996: 400).

Seiring dengan kemajuan pertanian dan juga tekanan globalisasi serta tekanan politik menyebabkan adanya desakan untuk melakukan pembaharuan agraria yang kemudian terjadi transisi agraria, misalnya saja yang terjadi di Jepang, kemudian di Korea Utara dan Taiwan. Dinamika pertanian selanjutnya sehubungan dengan kebutuhan akan bahan makanan berbasis industri, menyebabkan pedesaan-pedesaan di Asia tenggara mulai bergeser, dari orientasi subsisten ke orientasi pasar. Ada transformasi dari petani kecil menjadi petani berbasis agroindustri. Dalam transformasi ini juga sebagai indikasi kapitalisme mulai masuk di perdesaan, karena petani-petani kecil yang membutuhkan modal dapat saja melakukan pinjamana kepada pemilik modal untuk misalnya membiayai faktor-faktor produksi yang dibutuhkan oleh petani. Pade fase ini dimunculkan sistem Contract Farming, dimana petani kecil pemilik lahan dan tenaga, melakukan kontrak dengan pemilik modal dan teknologi, walaupun sistem ini ada yang berhasil tetapi tidak sedikit juga hanya menjadikannya sebagai wadah eksploitasi, karena kemungkinan untuk mengusai lahan-lahan yang ada di pedesaan sangat sulit, karena keteguhan rumah tangga petani untuk mempertahankan lahannya. Karena lahan atau tanah bagi mereka bukan hanya sekadar sumberdaya ekonomi, tetapi juga menyangkut status sosial dan budaya.

Sebagai jalan keluar dari keteguhan rumah tangga petani untuk tetap mempertahankan lahannya sebagai sumber produksi, maka para kapitalis mengikutkan para petani tersebut agar punya “saham” dalam usaha pertanian yang dikelola dengan sistem kontrak farming. Bukan hanya menyediakan sarana produksi, tetapi pemilik modal juga menjamin pasar.

Sistem Kontrak Farming secara global juga dapat digambarkan bahwa negara-negara Asia Tenggara, atau negara sedang berkembang umumnya merupakan penyedia lahan dan tenaga kerja, sementara negara maju merupakan penyedia modal dan teknologi. Sehingga dengan demikian petani-petani di Asia Tenggara tetap merupakan input labor.

Demikain pula pada fase globalisasi, di Asia Tenggara, terdapat ketergantungan baru petani terhadap negara dan globalisasi. Hal ini sebagaimana juga telah disampaikan bahwa dengan tekanan globalisasi dimana telah terjadi perubahan padangan mengenai keamanan dan ketahan pangan, permintaan akan bahan pangan sangat besar terutama untuk bahan makanan yang berkalori tinggi maupun produk-produk pertanian untuk energi, sehingga negara-negara maju tentunya akan melakukan ekspansi ke negara-negera sedang berkembang untuk mendapatkan akses terhadap bahan pangan tersebut. Oleh krena itu terjadi investasi langsung dari luar negeri (PMA), untuk membuka lahan-lahan pertanian baru misalnya kelapa sawit, kakao, bunga dan sebagainya sehingga terjadi integrasi antara petani dengan sistem pangan global, keseragaman pertanian sebagai tuntutan pada kebijakan produksi tersebut.

(3) Uraikan pandangan anda tentang “apa pertanyaan agraria yang telah diajukan bangsa Indonesia” dalam menghadapi globalisasi pertanian serta “bagaimana jawaban bangsa Indonesia terhadap pertanyaan agraria bangsa Indonesia” tersebut?

Jawab:

Sebagaimana diketahui bahwa pertanian Indonesia, sebagaimana juga pertanian pada umumnya di Asia Tenggara merupakan pertanian yang berbasis keluarga sehingga mayoritas petani menguasai/mengerjakan lahan yang relatif sempit dan oleh karena itu, hampir bisa dikatakan bahwa usahatani yang dijalankannya berada di bawah skala ekonomi, jika ekonomi dilihat dari segi efisiensi produksi. Diakui bahwa dengan lahan yang sempit, petani sulit atau tidak dapat meningkatkan produktivitas, karena berbagai hambatan, antara lain mengenai efisiensi penggunaan input, efisiensi dalam penggunaan teknologi sehingga pertanian di Indonesia dengan kondisi lahan seperti tersebut sangat tidak efisien dan hal tersebut “mengancam” eksistensi petani Indonesia jika menghadapi yang namanya globalisasi, apakah itu globalisasi yang sifatnya memang global (GATT), regional (AFTA) maupun inter-regional (misalnya ACFTA). Contoh saja sekarang, dengan adanya perdagangan bebas Asian-China Free Trade Agreement (ACFTA), para petani kecil menjerit, produksi buah-buahan tidak mampu bersaing dengan produk luar yang dikenal murah karena efisiensinya. Apalagi ciri pertanian tersebut disertai dengan ciri keluarga tani Indonesia yang relatif berpendidikan rendah, menganut sistem budaya pewarisan dan subsisten.

Namun demikian sejarah menunjukan bahwa sektor pertanian telah memegang peran penting dalam perekonomian Indonesia. Pada masa krisis ekonomi, hanya sektor pertanian yang mampu bertahan dan masih dapat tumbuh. Khusus untuk pertanian tanaman pangan (Agro-food) juga memiliki arti yang strategis karena subsektor ini menyediakan kebutuhan paling esensial bagi kehidupan, yaitu bahan pangan, dan saat ini menopang kehidupan lebih dari 63% masyarakat Indonesia. Subsektor ini juga menyediakan bahan baku industri, serta membuka kesempatan usaha di bidang industri dan jasa. Keberhasilan pembangunan tanaman pangan akan berdampak langsung pada ketahan dan keamanan nasional.

Pada saat ini, laju pembangunan sektor pertanian semakin tertinggal dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional diprediksi memang akan terus menurun. Oleh karena itu, perlu mengajukan ”pertanyaan agraria” yang tepat untuk menempatkan sektor pertanian dalam perekonomian nasional. Pertanian tanaman pangan seharusnya menjadi pertanian yang tangguh dan modern berbasis pengelolaan sumberdaya alam dan genetik secara berkelanjutan yang menjamin ketahanan, keamanan dan mutu pangan, penyediaan bahan baku industri, kesejahteraan petani, serta berdaya saing global.

Pertanyaan-pertanyaan Agraria Bangsa Indonesia saat ini antara lain:

1. Lahan untuk pertanian. Lahan partanian terus manyempit; konversi lahan sawah untuk penggunaan lain dalam kurun 5 tahun terakhir terjadi dengan kecapatan 110 ribu ha/tahun dan dalam kurun waktu 10 tahun kedepan hingga 2017, luas konfersi lahan yang telah direncanakan dalam tata ruang seluruh kabupaten di indonesaia diprediksikan mencapai 3 juta ha lahan produktif (Las, et al2007). Total lahan sawah pd tahun 2005 adalah 7,7 juta ha sehingga luas lahan sawah per kapita penduduk indonesia hanya 340 m2 (BPS 2006). Luas pengusahan lahan per kaluarga tani sangat sempit (rata-rata 0,3 ha di Pulau Jawa dan 1,1 di Pulau Sumatra) dan fragmentasi lahan pertanian terus terjadi karena pola pewarisan (Deptan 2005). di sisi lain, daya dukung lahan pertanian menurun karena terjadinya degradasi lahan, alih fungsi sumber daya air dan perubahan ekologi termasuk bencana alam.

2. Produktivitas lahan rendah yang mengalami levelling off. Produktivitas yang sudah hampir tidak meningkat lagi terjadi karena kurang berkembangnya teknologi, terbatasnya alih tekhnologi, serta rendahnya penggunaan dan akses terhadap teknologi. Rusaknya infrastruktur pertanian seperti irigasi, jalan ushatani, dan lainnya menjadi penyebab rendahnya produktivitas.

3. Lemahnya sumber daya manusia dalam bidang prtanian, kelembangaan petani, dan kelembangaan penyuluhan. Petani walaupun dengan lahan sempit, pada umumnya mengelola lahan sempitnya sendiri-sendiri, tidak ada konsolidasi dalam pengelolaan lahan. Kelembagaan penyuluh yang pernah sukses mengantar Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984, sudah melemah dan kurang berdaya. Akibatnya, pendapatan rata-rata petani lebih rendah di bandingkan dengan masyarakat perkotaan.

4. Sistem agribisnis yang belum berfungsi dengan baik karena tidak terintegrasinya sistem agribisnis hulu-hilir, rantai tataniaga yang panjang, sistem pemasaran yang belum adil, dan keterbatasan akses terhadap layanan usaha, terutama permodalan.

5. Kebijakan makro seperti halnya fiskal, peraturan ekspor dan impor, perpajakan, kebijakan industri dan perdagangan, sering kali tidak memihak sektor pertanian.

6. Masalah lingkungan karena aktifitas pertanian yang tidak ramah lingkungan, seperti pencemaran tanah dan air oleh pestisida dan pupuk anorganik yang di gunakan secara berlebihan, emisi gas metana dari sawah dan pembakaran lahan, erosi yang parah pada lahan pertanian terutama daerah aliran sungai (DAS) curam akibat pengelolaan yang tidak tepat.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agraria Indonesia tersebut, telah banyak ahli menyampaikan gagasannya utamanya gagasan menyangkut pembangunan nasional dalam perspektif ilmu-ilmu pertanian (lihat pemikiran Guru Besar Institut Pertanian Bogor, 2008) yang pada intinya menekankan pada kecenderungan karakter konsumsi yang akan terjadi pada masa depan dan sudah mulai dapat dirasakan saat ini antara lain adalah tuntutan konsmen terhadap keamanan, nilai gizi, cita rasa, dan ketersediaan pangan. Keamanan dan mutu pangan akan menjadi issu penting walaupun mungkin ketahanan pangan masih menjadi issu yang tidak kalah penting. Di Indonesia, pasar modern (hypermarket, supermarket, minimarket) akan tumbuh dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi walaupun jumlah supermarket chain besar berkurang. Yang bertahan akan menjadi besar sehingga keseimbangan kekuatan bergeser dari produsen/petani ke perusahaan multinasional. Kondisi ini akan menyebabkan adanya kompetisi antara produk pangan domestik dengan produk impor (yang seringkali lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah).

Strategi untuk Meraih Keunggulan Pertanian Indonesia

Secara garis besar jawaban bangsa Indonesia terhadap pertanyaan agraria adalah bagaimana pertanian Indonesia menjadi pertanian tangguh dan modern berbasis pada pengelolaan sumber daya alam dan genetik secara berkelanjutan yang terjamin ketahanan, keamanan dan mutu pangan, penyediaanbahan baku industri dan kesejahteraan petani, serta berdaya saing global (Poerwanto, Lubis, Santoso 2007). Sehingga strategi untuk menjawab pertanyaan agraria tersebut adalah :

1. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pengembangan SDM pertanian tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam penerapan tekanologi pertanian, tetapi juga meningkatkan motivasi dan persepsi tentang pertanian modern, perbaikan moral serta transformasi tradisi dan kultur, menjadi pertanian berbudaya industri.

2. Penyempurnaan kelembagaan petani dan pertanian. Salah satu penyebab rendahnya daya saing pertanian Indonesia adalah sempitnya lahan pertanian yang dikelola petani. Dalam kondisi seperti itu, petani pada umumnya mengelola lahan sempitnya secara sendiri-sendiri, tidak ada konsolidasi dalam pengelolaan lahan. Oleh karena itu kelembagaan petani juga harus disempurnakan. Rekayasa sosial, penguatan kelembagaan dan pendampingan oleh pakar menjadi kunci penting untuk meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia.

3. Peningkatan produktivitas dan efisiensi. Produktivitas dan efisiensi dapat ditingkatkan antara lain dengan penerapan teknologi yang tepat. Good Agriculture practices, good handling practices, dan good manufacturing practices, menjadi salah satu pilar dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Untuk mendukung hal maka telah dibangun sarana dan prasarana yang memadai, antara lain peta perwilayahan komoditas, sumberair irigasi, jalan usahatani yang mendukung penyaluran hasil pertanian, perusahaan pembibitan yang profesional, laboratorium analisis buah dan sebagainya.

4. Peningkatan Nilai Tambah Produk pertanian. Peningkatan nilai tambah dilaksanakan untuk peningkatan pendapatan masyarakat petani dan pedesaan di luar kegiatan on farm, sekaligus mendukung kebijakan lahan pertanian dari banyaknya peluang pendapatan dari kegiatan off farm. Peningkatan nilai tambah dilakukan melalui pengembangan industri pertanian, pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan, penguatan kelembagaan, profesionalisme tanaga kerja, sistem mutu produk pertanian, dan peningkatan daya saing produk dan pemasaran.

5. Usaha untuk kemandirian pangan. Strategi kemandirian pangan diarahkan pada pemenuhan pangan nasional secara mandiri berdasarkan sumberdaya alam, kemampuan produksi dan kreativitas masyarakat. Keaneka ragaman pangan ditingkatkan baik sumber pangan maupun bentuk dan cita rasa hasil olahan dengan basis tepung sebagai produk antara bahan pangan. Kemandirian pangan diupayakan melalui diversifikasi pangan, pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan, serta pengembangan budaya industri di pedesaan.

6. Pengelolaan lingkungan hidup yang produktif dan lestari. Pengelolaan lingkungan hidup yang produktif dan lestari dilaksanakan untuk memelihara daya dukung lingkungan dengan produktivitas yang tinggi secara berkelanjutan. Keanekaragaman hayati serta keseimbangan interaksi antar semua unsur dan faktor lingkungan. Pengelolaan lingkungan yang produktif dan lestari dilaksanakan melalui upaya pengembangan sumberdaya alam secara lestari, pemberdayaan masyarakat, reklamasi lahan, perluasan areal pertanian, dan pangadaan lahan pertanian pangan abadi.

7. Penyempurnaan sistem pemasaran produk pertanian. Telah dilakukan pemberdayaan rantai pasar dengan penerapan Supply-Chain Managemen sehingga tipe dan karakteristik hubungan bisnis berubah dari tipe transaksional menjadi tipe partnership sehingga rantai pasokan yang ideal dapat tercapai.

8. Kebijakan makro yang mendukung sektor pertanian. Untuk mendukung semua itu, dilaksanakan kebijakan makro yang mendukung sektor pertanian, yaitu a. pertanian menjadi platform pembangunan nasional; b. akses pertanian terhadap lahan, modal, teknologi dan informasi memadai; c. infrastruktur dan pendukung pertanian dikembangkan; d. sektor industri dan jasa berkembang sehingga mampu menyerap tenaga kerja dari pedesaan dan sektor pertanian; dan e. dilakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan.



Bahan Bacaan: D. Goodmann and M.J. Watts, 1997. Globalising Food: Agrarian Questions and Global Restructuring. Routledge: New York serta J. Rigg, 2001. More than the Soil: Rural Change in Southeast Asia. Prentice Hall: London; Roedhy Poerwanto, 2008. Pembangunan Pertanian Masa Depan: Meraih Keunggulan Pertanian Indonesia, Dewan Guru Besar IPB, Bogor.


Soal-dua.

Kelembagaan adalah pelaku pembangunan itu sendiri, termasuk dalam pembangunan pertanian. Dalam konteks ini, kelembagaan pembangunan pertanian dapat dipahami sebagai aturan main dan struktur yang berfungsi mendorong dan mengarahkan perubahan menuju peningkatan produksi pertanian yang selain mensejahtera-kan petani juga menjamin kelestarian sumberdaya alamnya.

1. Bila kelembagaan pembangunan pertanian dikembangkan pada level lokal dalam hirarki unit pembangunan, uraikan unit-unit apa saja yang tercakup pada level lokal tersebut;

Jawab :

Sebelum menguraikan unit-unit kelembagaan apa saja yang tercakup pada level lokal, terlebih dahulu disajikan batasan level lokal yang dimaksud. Oleh Uphoff, 1986; 112, level lokal dapat dilihat dari skema hirarkhi pengambilan keputusan yaitu :

SupraLokal

Internasional

Nasional

Regional

-----------------------------------------

Lokal

Lakalitas

Komunitas

Kelompok atau wirausaha

-----------------------------------------

Sub Lokal

Rumah Tangga

Individu

Dari skema tersebut terlihat bahwa level lokal meliputi komintas, tetangga, rumhatangga dan individu. Pada level lokal, fungsi utama yang harus dilaksanakan kelembagaan pembangunan pertanian adalah penyiapan input-input dan penanganan Output. Sementara pada level sub-lokal, yaitu rumahtangga dan individu fungsi utamanya terkait langsung dengan aktivitas produksi. Oleh karena itu unit-unit kelembagaan pembangunan pertanian yang dapat dikembangkan di level Lokal adalah sesuai dengan aktivitas yang berhubungan dengan Input dan penanganan output serta aktivitas yang berhubungan langsung dengan produksi yang dirinci sebagai berikut :

I. Yang berhubungan dengan Input, yang meliputi

A. Input material, antara lain benih dan perbenihan

1. Pupuk, baik pupuk kimia maupun pupuk organik

2. Pestisida baik herbisida, insektisidan maupun fungisida.

3. tenaga mesin atau tenaga hewan; traktor, kerbau dll

4. alat-alat pertanian; cangkul sabit

5. obat-batan hewan

B. Input Modal, yang meliputi:

1. Kredit produksi (jangkapendek).

2. Kredit jangka menengah

3. kreditjangka penjang

C. Input Tidak Langsung, meliputi :

1. Pengelolaan sumberdaya alam, konservasi tanah, air, hutan dan sumberdaya alam lainnya.

2. Infrastruktur pedesaan/pertanian, jalan/jalan usahatani, pengairan dan perumahan.

3. Pengembangan sumberdaya manusia; pendidikan dan kesehatan.

II. Aktivitas produksi; biasanya dilakukan oleh individu atau kelompok

usaha, antara lain :

A. Tenaga Kerja

Tenaga kerja dapat dibedakan pada tiap jenis tanaman atau hewan, antara lain :

1. Tanaman yang dipanen setiap tahun tenaga kerjanya meliputi:

2. persiapan lahan,

3. penanaman dan pembibitanpembibitan

4. penjarangan dan penyiangan

5. pemupukan

6. pemeliharaan

7. pengairan

8. panen

9. seleksi benih.

Tanaman tahunan; rincian kegiatan yang menggunakan tenaga kerja sama dengan di atas kecuali persiapan lahan dan penanaman yang lebih jarang demikian pulaadanya kemungkinan untuk melakukan pencangkokan atau penyambungan tanaman.

Pengelolaan, yang merupakan kegiatan pengambilan keputusan, yang meliputi kegiatan :

1. memperoleh dan menjaga input,

2. memobilisasi, mengkordinasi dan mensupervisi tenaga kerja

3. menjaga indeks pertanaman dan’

4. menjaga keseimbangan antara input dan output dan mengusahakan agar nilai output lebih besar dari nilai input.

III. Kegiatan-kegiatan Output meliputi :

1. Penyimpanan atau penanganan pasca panen.

2. Pengolahan, baik manual maupun menggunakan mesin.

3. Pengangkutan; ke tempat pengolahan, gudang maupun untuk dijual.

4. Pemasaran

2. Idenditifikasi dan jelaskan format kelembagaan pertanian apa saja yang dapat fungsional pada level tersebut dalam kaitan dengan tujuan praktek penyuluhan, pengembangan bibit, pengelolaan irigasi, pengendalian hama dan pengolahan hasil pertanian/agroindustri;

Jawab :

Sehubungan dengan praktek penyuluhan :

Praktek penyuluhan sebagaimana tujuan dilaksanakannya adalah memberikan informasi kepada petani, baik secara individu maupun kelompok sehingga individu maupun kelompok petani tersebut dapat mengambil keputusan yang baik dalam usahataninya. Masalahnya adalah bahwa kadang penyuluh pertanian memperoleh sangat sedikit informasi teknologi dari sumber informasinya, misalnya hasil-hasil penelitian dari perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Demikian pula dengan wilayah kerja yang luas menyebabkan penyuluh tidak dapat efektif melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh pertanian, apalagi sebagai seorang pegawai negeri yang juga diberikan beban tugas harus masuk kantor sebelum ke lapangan. Banyak masalah yang ditemui dalam praktek penyuluhan di tingkat lokal saat ini.

Jika melihat dari unsur yang terlibat dalam kelembagaan penyuluhan yang terdiri dari kelembagaan penelitian, penyuluh, media dan petani (baik individu maupun kelompok), maka kelembagaan fungsional yang dapat berperan dalam penyluhan tersebut adalah ke empat unsur tersebut yang diuraikan sebagai berikut :

1. Kelembagaan Penelitian

Bahan-bahan penyuluhan pertanian yang selama ini disampaikan kepada petani adalah hasil-hasil penelitian, walaupun diketahui bawa penelitian bukan hanya milik lembaga penelitian,penyuluh sendiri maupun petani data saja melakukan penelitian yang mungkin tidak seilmiah dengan yang dilakukan oleh lembaga penlitian atau universitas, namunjika hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, haltersebut juga merupakan sumber informasi yang dapat disebarluaskan melalui penyuluhan pertanian. Oleh karena itu kelembagaan penelitian perlu mempertimbangkan aspek lokalitas baik dari segi tempat maupun kajiannya.

2. Penyuluh Pertanian

Kelembagaan Penyuluh pertanian yang diadakan untuk mendukung program pertanian (program based extension) perlu reorientasi untuk memecahkan masalah dengan menggunakan hasil-hasil penelitian dan pengkajian lokal (research based extension).

3. Kelompok Tani

Kelembagaan petani perlu mengambil peran strategis dalam praketek penyuluhan. Kelompok tani bukan lagi difungsikan sebagai subyek penerima informasi yang passif, tetapi harus mengambil peran sebagai Objek yang dapat berperan sebagai fasilitator dan juga sebagai sumber materipenyuluhan, karena kelompok tani melalui anggotanya dengan pengalamannya dapat saja menemukan hal-hal baru yang positif dan dapat dijadikan contoh petani/kelompok tani lainnya.

Sehubungan dengan Pengembangan Bibit

Sehubungan dengan Pengembangan bibit, beberapa kelembagaan yang terlibat di dalamnya antara lain :

1. Balai Benih Induk/Bibit (BBI)

BBI adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia bahan baku benih (benih induk)

2. Kelompok Tani Penagkar

Kelompok tani penagkar ini merupakan kelompok sehamparan yang telah diniliai layak oleh Dinas Pertanian Kabupaten untuk menagkarkan benih induk menjadi benih sebar.

3. Balai Benih

Balai Benih merupakan lembaga yang menerima benih hasil tangkaran petani penangkar, selanjutnya diprosessing untuk diajukan sertifikasi sebagai benih lolos sertifikasi.

4. Balai Pusat Sertifikasi Benih (BPSB)

BPSB sebagai lembaga yang menerbitkan Sertifikasi benih, sehingga benih tersebut legal sebagai benih yang dapat ditanam oleh petani.

5. Kios Tani

Kios tani adalah lembaga yang berfungsi mendistribusikan benih ke para petani.

6. Petani/Kelompok tani pemakai

Para petani atau kelompok tani memperoleh benih dengan cara membeli di kios tani penyedia sarana produksi termasuk benih.

7. Penyuluh Pertanian

Penyuluh pertanian berfunsi sebagai pendamping kelompok tani dalam hal ini memberikan bimbingan teknis usahatani pembenihan.

Sistem kelembagaan fungsional perbanyakan benih digambarkan dengan skema berikut.

Balai Pusat Sertifikasi Benih (BPSP)



Sehubungan dengan Pengelolaan Irigasi

Kelembagaan pengelolaan irigasidi tingkat lokal dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Petani sebagai pemakai air

Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) adalah kelembagaan yang menghimpun para petani pemakai air, melakukan pengaturan pemakaian air pada anggotanyadan juga melakukan pemeliharaan saluran-saluran yang ada dalam hamparan kelomponya.

2. Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A).

Di tingkat kabupaten, terdapat GP3A yang tentunya menghimpun P3A-P3A yang ada dalam suatu wadah. GP3A tersebut juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan saluran air, utamanya jangkauannya lebih besar daripada saluran dalam hamparan P3A.

3. Dinas Pekerjaan Umum (PU)

Sebagai Lokal Administrator, PU bertanggung jawab secara teknis membangun dan memelihara saluran, utamanya saluran primer dan sekunder, serta bangunan-bangunan yang ada seperti bendungan, bendung maupun pintu-pintu air.

4. Dinas Pertanian,

Juga sebagai Lokal Adminsitrator juga mempunyai tanggungjawab membangun dan memelihara saluran, utamanya saluran tersier serta bangunan yang ada di atasnya, biasanya bendung dan pintu-pintu air.

6. Penyuluh Pertanian, mendampingi petani dalam memanfatkan dan memelihara saluran irigasinya.

Sehubungan dengan Pengendalian Hama

Kelembagaan pengendalian hama di level Lokal antara lain :

1. Kelompok Tani; sebagai wadah belajar petani dalam rangka memahami dan mengetahui perinsi-perinsip pengendalian hama dan penyakit tanaman.

2. Pengamat Hama dan penyakit Tanaman (PHPT)/Penyuluh adalah petugas yang membimbing dan menjadi fasilitator kelompok tani dalam setiap kegiatan sekaitan dengan pengendalian hama dan penyakit tanaman

3. Brigade OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) adalah satuan gugus kerja dibawah Dinas Pertanian kabupaten yang bertanggung jawab terhadap pengendalian hamapenyakit tanaman.

Sehubungan dengan Pengolahan Hasil Pertanian/Agroindustri

Kelembagaan Agroindustri di level lokal antara lain :

1. Petani/Kelompok Tani; sebagai penghasilbahan baku untuk pengolahan hasil pertanian

2. Kios Sarana Produksi; penyedia sarana produksi

3. Kelompok Usaha; kelompok yang melakukan kegiatan penanganan produksi, dari bahan baku, pengolahan, pasca pengolahan (pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan)

4. Lembaga Jasa keuangan; lembaga yang meber5ikan fasilitas permodalan, baik kepada petani sebagai pemasok bahan baku maupun kepada kios sarana produksi dan kelompok usaha.

5. Lembaga pemasaran; lembaga yang memsarkan produksi ke konsumen.

(3) Jelaskan substansi dari kerangka-konseptual SCOPE dari Brinkerhoff dan Goldsmith yang relevan dijadikan acuan dalam memfasilitasi tercapainya sustainabilitas bagi kelembagaan pembangunan pertanian.

Jawab :

Kerangka konsepsi yang dikemukakan oleh Brinkerhoff, Goldsmith, Ingle dan Walker, 1990, mengenai SCOPE (System theory, COntingensi theory dan Political Economy) yang diajadikan acuan dalam menfasilitasi tercapainya sustainabilitas bagi kelembagaan pembangunan pertanian merupakan respon dari kenyataan yang selama ini bahwa berbagai pihak hanya menjelaskan sustainabilitas kelembagaan melalui argumen-arguman sesaat seperti misalnya argumen yang ditekankan hanya pada komitmen pemerintah pusat dalam hal menyediakan dana; atau sebuah pendekatan yang mencampur adukkan kelembagaan sektor publik dan sektor privat; atau sektor publik yang hanya melihat pendelegasian tugas pada berbagai tingkatan pemerintahan; atau issu sensitive degradasi lingkungan dan tujuan produksi pertanian jangka panjang; maupun adopsi terhadap sistem managemen yang disebut dengan pengembangan kapasitas (capasity building). Walaupun semua penjelasan spesifik tersebut dapat diterima tetapi tidak penting dan tidak saling melengkapi.

Banyak kelembagaan yang terbagun, baik oleh pemerintah maupun oleh non pemerintah karena adanya kegiatan atau proyek yang akan atau sedang dilaksanakan tidak sustainabel, karena berbagai alasan, misalnya saja alasan yang paling sering didapati adalah alasan pendanaan. Banyak kelembagaan, termasuk kelembagaan pertanian begitu aktif dan efektif ketika program/proyek berlangsung, namun hilang jejak juga ketika proyek berakhir. Lihat saja misalnya pada proyek IDT (Impres Desa Tertinggal), kelompok-kelompok yang terbagun dalam suatu sistem kelembagaan masyarakat desa begitu tumbuh subur ketika program IDT berlangsung, namun saat ini kita sulit lagi mengidentifikasi kelompok tersbut karena program sudah selesai. Demikian pula misalnya dengan Kelompok Usaha Bersama (KUBE), KOPTAN, bisa mengalami hal yang sama. Hal ini menunjukkan ada suatu hal yang salah dalam menjaga kelestarian (sustainibilitas) kelembagaan.

Oleh karena itu Brinkerhoff, Goldsmith memandang bahwa kesalahan-kesahan dalam menjaga sustainibilitas kelembagaan salah satunya adalah pemahaman parsial terhadap suatu sistem kelembagaan, dan karena itulah digagas suatu kerangka konseptual yang lebih holistik yang disebut SCOPE. SCOPE adalah singkatan dari (System, COntigency dan Politik Ekonomi) atau Teori Sistem, Teori Ketergantungan dan Politik Ekonomi.

Teori sistem (systems theory) secara umum mencakup fenomena keberlanjutan (sustainibilitas) pada setiap jenis kelembagaan, mulai dari kelembagaan formal kolektif sampai pada kelembagaan informal dan oleh karena itu lembaga adalah sistem. Teori sistem merupakan teori yang cukup general yang mencakup fenomena keberlanjutan semua jenis lembaga dari kelompok-kelompok formal sampai aturan-aturan informal. Kedua, teori sistem secara simultan menyangkut proses-proses internal dan hubungan antara sistem dan lingkungannya. Hal tersebut juga mengharukan kita untuk melihat berbagai faktor sosial, ekonomi, politik, teknis dan lain-lain yang mempengaruhi keberlanjutan lembaga. Terakhir, teori sistem menekankan interrelasi antara unsur-unsur yang berbeda, sehingga memungkinkan untuk menggabungkan aspek-aspek lingkungan pertanian, ekonomi dan manajerial dari keberlanjutan lembaga.

Sebagai suatu sistem, kelembagaan bisa sangat sederhana, sesederhana dengan sel dalam ilmu biologi dan juga dapat rumit sebagaimana rumitnya suatu negara.

Suatu sistem terdiri dari tiga subsistem, yaitu subsistem Input (sumberdaya) yaang bisa meliputi bahan baku, modal, tenaga kerja, informasi dan pengetahuan. Selanjutnya terdapat subsistem Proses, dimana input ditransformasikan menjadi suatu atau beberapa output. Subsistem ketiga adalah output itu sendiri yang dapat berupa produk, jasa, program dan ide yang merupakan hasil dari kegiatan organisasi.

Teori sistem menunjukkan bagaimana suatu sistem menjalin keterkaitan antar subsistem, dimana output dari suatu subsistem menjadi input untuk subsistem lainnya. Misalnya bahan baku menjadi input untuk proses produksi, kemudian dari proses produksi tersebut diperoleh output yang nantinya juga menjadi input untuk sistem berikutnya. Secara sederhana teori sistem digambarkan sebagai berikut :


Contingency

Teori sistem dianggap tidak cukup mampu menggambarkan secara jelas dan detail peroses sistem internal atau hubungan-hubungan eksternal sistem, dan oleh karena itu, teori ketergantungan (Contigency theory) dibutuhkan. Teori ketergantungan mempunyai kemampuan menjawab tentang bagaimana kelembagaan bisa memperoleh keserarian (sustainibilitas) dengan kekuatan-kekuatan di sekitarnya atau hubungan dengan lingkungan ekonomi maupun politik.

Proposisi dasar yang digunakan dalam teori ketergantungan ini adalah : Tidak ada suatu perinsip organisasi yang secara universal lebih baik dari yang lainnya. Keberhasilan sebuah organisasi tergantung dengan dimilikinya ”ketepatan” yang cukup dengan lingkungannya. Untuk memproleh ”ketepatan” tersebut organisasi harus memiliki struktur, strategi, budaya dan dan lain-lain yang tepat.

Oleh karena itu Teori kontigensi menggambarkan hubungan suatu sistem dengan lingkungannya, baik itu lingkungan politik kebijakan, maupun ekonomi atau pasar. Suatu sistem kelembagaan tidak akan sustainable jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan strategisnya, misalnya dengan adanya perubahan kebijakan, perubahan paradigma bahkan perubahan regim dalam lingkungan politik. Atau purbahan kondisi ekonomi dalam hal lingkungan ekonomi. Sistem kelembagaan akan berlanjut jika mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan strategis tersebutdan hal ini dijelaskan dalam teori kontingency.

Ekonomi Politik, sebenarnya berasal dari dua pemikiran, yang pertama menekankan bahwa ilmu politik dan ilmu ekonomi merupakan hubungan yang tidak terjelaskan dan pasti akan diuji secara total. Yang kedua memandang bahwa masalah politik dan ekonomi mempunyai persamaan, mengingat sacara-cara individualisme yang merupakan tradisi utama para politikus, bisa dipersamakan dengan para pelaku ekonomi. Masyarakat menilai keduanya mempunyai kehidupan bermasyarakat yang sama. Walaupun demikian kedua pandangan terhadap ekonomi politik yang berbeda tersebut dianggap oleh Brinkerhoff dan Goldsmith (1990; 24) tidak bertentangan secara filsofi. Pada dasarnya mereka berbagi asumsi bahwa prilaku politik didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi, sebaliknya produksi dan konsumsi makanan, serta jasa, dibuat berdasarkan undang-undang dan praktek-praktek pemerintahan. Implikasi yang penting adalah bahwa sumberdaya politik dapat dimasukkan kedalam pengaruh ekonomi dan juga sumberdaya ekonomi kedalam kekuatan politik.

Oleh karena itu kedua perbedaan politik ekonomi juga menjamin kelembagaan ekonomi, seperti pasar dan perusahaan, dan kelembagaan politik, seperti legislatif dan birokrasi, memenuhi fungsi-fungsi sosial secara bersama-sama (paralel). Fungsi-fungsi tersebut antara lain menghimpun pilihan-pilihan individu atau preferensi dalam pilihan-pilihan sosial, dan mengurangi biaya-biaya terhadap interkasi atau transaksi di tengah-tengah unsur masyarakat.

Melihat ketiga kerangka fikir dari SCOPE tersebut maka dapat dikatakan bahwa jika sebuah kelembagaan dapat dibangun sesuai dengan konsepsi SCOPE maka keberlanjutan kelembagaan pembangunan pertanian akan terjamin. Hal ini mengngat sebagaimana telah kami uraikan di atas bahwa:

Kelembagaan terbangun dari banyak sistem, dimana dalam satu sistem terdapat lagi sub-sub sistem, yang pada intinya terdiri dari input-proses-output, yang hubungan-hubungannya dapat dijelaskan dengan Teori Sistem.

Diantara sistem yang ada dalam kelembagaan pertanian tentunya mempunyai hubungan-hubungan, baik hubungan struktural, fungsional maupun hubungan kordinatif. Untuk menjamin keberlanjutan suatu kelembagaan perlu dipahami dan diteraplkan teori ketergantungan (Contingency theory). Karena dalam satu sistem yang tidak mempunyai hubungan dengan lingkungan eksternalnya baik lingkungan ekonomi maupun politik dalam arti luas.

Demikian pula dengan Politik Ekonomi yang merupakan dua kekuatan pada lingkungan eksternal masing-masing memiliki pengaruh baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dan bahkan kondisi ekonomi politik suatu wilayah akan berbeda satu sama lainnya sehingga pemahaman terhadap Pilitical Ekonomi sangat tepat dalam rangka sustainibilitas kelembagaan.

(Bahan Bacaan: N. Uphoff, 1988. Local Institutional Development. Baca juga: D.W. Brinkerhoff dan A.A. Goldsmith, 1990. Institutional Sustainability in Agriculture and Rural Development. New York: Praeger Publisher).


Soal-tiga:

J.H. Boeke pernah mengemukakan konsep dualisme perekonomian Indonesia (dimana pertanian menjadi bagian dari dualisme perekonomian tersebut) di masa lalu. Begitu pula C. Geetrz pernah mengemukakan konsep agricultural involution dalam perkembangan pertanian Indonesia dan konsep shared poverty dalam dinamika pedesaan Indonesia di masa lalu. Jelaskanlah apa yang dimaksud oleh tiga konsep tersebut, berikan ilustrasi contoh, serta analisis tentang bagaimana relevansi konsep-konsep tersebut pada pertanian dan perdesaan Indonesia saat ini.

Jawab :

Indonesia menurut J.H. Boeke mengalami dualisme ekonomi atau dua sistem ekonomi yang berbeda dan berdampingan kuat. Dua sistem tersebut bukan sistem ekonomi transisi dimana sifat dan ciri-ciri yang lama makin melemah dan yang baru makin menguat melainkan kedua-duanya sama kuat dan jauh berbeda. Perbedaan tersebut karena sebagai akibat penjajahan. Dikatakan bahwa seandainya tidak terjadi kedatangan penjajah dari Barat mungkin sistem pra-kapitalisme Indonesia dan dunia Timur pada umunya pada suatu waktu akan berkembang menuju sisitem atau tahap kapitalisme. Akan tetapi sebelum perkembangan kelembagaan-kelembagaan ekonomi dan sosial menuju ke arah tersebut, penjajah dengan sisitem kapitalismenya (dan sosialismenya serta komunisme) telah masuk ke dunia Timur. Inilah yang menimbulkan sistem dualisme atau masyarakat dualisme.

Sistem ekonomi dualistik menurut J.H Boeke adalah suatu masyarakat yang mengalami 2 macam sistem ekonomi yang saling berbeda dan berdampingan sama kuatnya dimana sistem ekonomi yang satu adalah sistem ekonomi yang masih bersifat pra-kapitalistik yang dianut oleh penduduk asli dan sistem ekonomi yang diimpor dari Barat yang telah bersifat kapitalistik atau mungkin telah dalam bentuk sosialisme atau komunisme. Kedua sistem ekonomi tersebut saling hidup berdampingan secara kuat dan bukan dalam bentuk transisional. Oleh karena kedua sistem ekonomi tersebut lebih menyangkut dua bentuk masyarakat yaitu masyarakat asli Indonesia dan masyarakat Barat dan atau yang telah dipengaruhi oleh Barat maka lebih tepat disebut masyarakat yang bersifat dualistik atau dual society.

Ciri-ciri khusus masyarakat asli Indonesia dari segi ekonomi dikemukakan oleh J.H. Boeke sebagai berikut:

1. Mobilitas faktor-faktor produksi adalah rendah. Mobilitas faktor produksi rendah disebabkan karena sangat terpengaruh oleh tradisi. Masyarakat yang bersifat tradisional tingkah lakunya telah terikat dalam pola-pola tertentu. Penentuan upah, pembagian pekerjaan dan tugas, jam kerja, penggunaan peralatan modal, dan lain-lain bersifat tradisional.

2. Pemisahan yang tajam antara kota dan pedesaan. Ketajaman tersebut sejajar dengan sifat masyarakat Timurnya sendiri. Karena peredaran uang dan ekonomi pasar belum menyusup ke masyarakat pedesaan, masyarakat pedesaan mempunyai sifat utama yaitu haus akan kredit. Pertentangan antara kota dan desa sekaligus merupakan pertentangan antara perdagangan dan industri dengan pertanian dengan kerajinan tangan.

3. Pertentangan antara rumah tangga atau perekonomian uang dengan perekonomian barang. Karena perbedaan ini maka pajak yang dikenakan terhadap masyarakat pedesaan yang harus dibayar dalam bentuk uang bersifat sangat memberatkan.

4. Yang satu bersifat mekanistik dan masyarakat pedesaan bersifat organik. Prinsipnya kehidupan masyarakat Barat sangat bersifat mekanistik dalam arti rasional zakelijk atau bersifat pamrih, obyektif dalam arti terutama melihat objek yang hendak dicapai dan kurang perhatian terhadap unsur-unsur subyektif, kenyatan-kenyataan yang bersifat metafisik, faktor berbagai macam perasaan dan lain-lain. Irama kehidupan masyarakat Timur sangat ditentukan oleh lingkungan fisik, lingkungan metafisik, maupun lingkungan sosialnya. Kepuasan bertindak dan kepuasan batiniah sangat ditentukan oleh lingkungan-lingkungan tersebut. Maka dari itu masyarakat Timur lebih mementingkan kebutuhan masyarakat, kebutuhan yang bersifat tradisional, membatasi kebutuhan dan nafsu pribadi dan lainnya. Individu sebagai suatu bagian dari organisme masyarakat, fungsi dan kedudukannya, kebtuhan dan kepuasannya sangat ditentukan oleh organismenya sebagai keseluruhan, baik organisme alam (fisik dan metafisik) maupun organisme sosial serta institusional. Banyak tuduhan tentang indolens, fatalisme, dan kemalasan bersumber pada tiadanya pengertian dan penghargaan itu.

5. Masyarakat Barat, perekonomiannya bersifat produsen dan masyarakat Timur berperekonomian konsumen. Azas perusahaan modern belum meresap dalam masyarakat Jawa (masyarakat Timur) dan konsumen dikuasai oleh alasan non ekonomi. Seluruh kehidupan dikuasai oleh agama , kebiasaan dan tradisi sesuai agama, tingkah laku terutama ditentukan oleh kebutuhan untuk merasa senang dan kepuasannya secara ekonomis mutlak adalah hal yang sekunder.

Sementara itu yang dimaksud dengan ”Agricultural involution oleh Geertz (1963) adalah pola-pola respon petani, khususnya di Jawa yang khas terhadap tekanan penduduk secara kultural, sosial, ekonomi dan ekologikal, termasuk dalam merespon kelangkaan sumberdaya agraria. Situasi perumitan, penjelimetan dan pengkomplekskan ke dalam (namun dengan pola dasar yang lama) terlihat dalam setiap aspek kehidupan pertanian perdesaan Jawa, baik dalam sistem pemilikan tanah, sistem bagi hasil, sistem hubungan kerja, sistem kesenian dan sebagainya.

Geertz (1963) mengemukakan empat tesis sehubungan dengan involusi pertanian, tesis tersebut dapat dipaparkan secara singkat, Pertama, kebijakan kolonial Hindia Belanda (1619-1942) adalah membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi pribumi. Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara luas di pasar dunia, seperti halnya Inggris pada masa yang sama, sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda.


Kedua, upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958), sebagaimana telah dibahas sebelumnya, disebut dualisme ekonomi.


Ketiga, pada sektor domestik, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia.

Keempat, akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan-dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik ekonomi. Adapun keterkaitan proses pemiskinan dan tesis involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif, yang terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam. Pertanian dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial melalui proses kompleksifikasi internal.

I
nvolusi pertanian, juga menuai kritik bila dilihat dari sudut pandangan proses dan perubahan. Karena Involusi pertanian menempatkan petani sebagai subyek yang pasif, statis, tunduk kepada sistem yang menguasainya, sehingga selalu sibuk beradaptasi internal demi kelangsungan sistem.


Dalam perspektif ini, nilai-nilai budaya petani Jawa menjadi penting sebagai orientasi. Bahwa, involusi pertanian tak lain adalah produk dari kerja kebudayaan petani Jawa; suatu pernyataan teoretis yang mengundang banyak kritik. Sebagian kritik menunjukkan fakta bahwa petani Jawa tak menerima begitu saja kondisi kemiskinan yang mereka alami. Petani Jawa, sebagaimana halnya manusia lain, adalah manusia yang aktif bukan pasif, yang kreatif bukan pasrah, yang dinamis bukan statis. Sebagai bukti, mereka menunjukkan fakta bahwa banyak petani Jawa yang banting setir menjadi migran ke kota dan berupaya meningkatkan kehidupan di sana.

Berbicara mengenai kemiskinan (poverty), tesis involusi pertanian mengandung implikasi yang penting dan mengandung relevansi, dengan persoalan kemiskinan yang pada dekade terakhir semakin meningkat.

Geertz, menandai involusi pertanian dari adanya fenomena shared poverty, dimana sektor pertanian menyerap luapan tenaga kerja di pedesaan secara irasional dalam kerangka kerja yang lebih diwarnai oleh aspek moralitas. Ikatan solidaritas dan kekeluargaan yang kuat di desa inilah yang menurut Geertz menjadikan para petani tidak mempermasalahkan proses pemiskinan yang merekaalami. Dan secara empirik proses ‘solidaritas dan kekeluargaan’ ini diakui sebagai salah satu faktor peredam potensi perlawanan sosial oleh kelompokpetani saat itu. Sektor formal perkotaan sendiri tidak dapat menyerap luapan tenaga kerja dari pedesaan, sehingga parapetani harus berkubang dalam perekonomian informal yang marjinal dan subsisten. Gerak absorsi sektor industri formal atas serbuan pekerja pedesaan itu sendiri terjadi secara parsial.

Involusi pertanian yang bekerja dalam konteks perspektif struktural-fungsional, secara implisit Geertz ingin membawa isu ini ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu involusi pada tingkat nasional (baca: Indonesia) berdasarkan prinsip metodologi komparatif yang melekat pada paradigma struktur dan fungsi dalam antropologi budaya. Namun, sebagaimana disaksikan banyak ahli, upaya tersebut hanya tersirat dan nyaris tak tergarap sama sekali. Tesis involusi pertanian yang dikemukakan Geertz, hampir setengah abad lalu, bagaikan sebuah cermin bagi kita masa kini. Tesis itu bahkan pernah pula dikembangkan oleh sejumlah ahli yang mengkaji masalah-masalah perkotaan di Indonesia, dan menyebut gejala yang analog sebagai involusi perkotaan.


Pada masa kini, involusi itu tidak hanya terjadi di lapangan pertanian, tetapi juga di berbagai sektor lain. Sebutlah seperti birokrasi pemerintahan, hukum, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Arus migran miskin dari desa-desa ke kota-kota terus meningkat dari tahun ke tahun dan tak terbendung. Golongan miskin di perkotaan terus berjuang untuk hidup dengan cara apa pun sehingga kemiskinan menjadi masif.


Kolusi, korupsi, penyalahgunaan hukum, pendidikan yang semakin semrawut, dan sebagainya mendorong kemerosotan nasional kita; suatu yang sesungguhnya diindikasikan oleh tesis involusi pertanian. Dengan kata lain, tesis involusi pertanian itu mengandung potensi prediksi yang kuat bagi masa depan Indonesia pada waktu itu. Namun, konteks mungkin sudah berubah. Kalau pada waktu Geertz menggagas tesis itu petani Jawa dipandang berhadapan dengan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dalam konteks politik-ekonomi, maka konteks masa kini adalah masyarakat nasional kita berada dalam dan berhadapan dengan sistem ekonomi internasional dan global yang sangat kuat, yang tampaknya hanya memungkinkan kita mengadaptasi atau menyesuaikan diri dengan kehendak sistem tersebut.


Dalam perspektif sistem global, kita dapat menyaksikan analogi involusi pertanian dengan involusi nasional kita masa kini. Pada posisi itulah seyogianya tesis involusi pertanian ditempatkan untuk mengapresiasi pemikiran tokoh besar ini. Tetapi kemudian, tesis Clifford Geertz (1963) tentang fenomena involusi pertanian mewarnai pesimisme para ahli tentang perkembangan kekuatan lokal rakyat Indonesia. Geertz mengatakan bahwa apa yang berkembang di kehidupan rakyat Indonesia, terutama yang tinggal di Jawa, yang didominasi oleh sektor pertanian, adalah sebuah involusi (perputaran ke dalam) pertanian. Digambarkan oleh Geertz, bahwa telah terjadi penurunan produktivitas pertanian di Jawa, sebagai respon dari lonjakan jumlah penduduk di wilayah pedesaan. Implikasinya, yang dominan terjadi adalah ’shared poverty” (kemiskinan yang terbagi). Semakin banyak orang menggarap tanah yang tetap tidak bertambah, dengan produktivitas yang makin menurun, dan akhirnya menimbulkan kemiskinan. ”Mangan Ora Mangan Asal Kumpul” adalah salah satu refleksi kultur dari ’shared poverty’ ini. Para petani tidak cukup ’menderita’ dengan kemiskinannya karena secara bersama-sama berada dalam kondisi tersebut. Disimpulkan oleh Geertz bahwa dengan kondisi ini akan melahirkan ketidakberdayaan masyarakat dalam kehidupannya.

Pemikiran J.H. Boeke dan C. Geertz tersebut masih sangat relevan saat ini, kita lihat masih terjadinya dualisme ekonomi Pertanian-Industri, Desa-Kota, dan bahkan Masyarakat biasa-Elite. Di Indonesia sebagai bagian dari dualisme pembangunan, sektor pertanian terus digalakkan, karena kondisi struktur ekonomi yang masih didominasi sektor pertanian, walaupun secara berlahan akan bergeser ke sektor industri dan jasa. Demikian pula dengan sektor industri, bukan hanya yang terkait dengan pertanian (Agroindustri) tetapi industri-industri manufactur dan jasa mendapatkan perhatian yang sama kalau tidak lebih dengan sektor pertanian. Dualisme pembangunan secara umum ini masih tetap dipertahankan di Indonesia, yang kedua-duanya malah menampakkan pondasi yang rapuh.

Pondasi yang rapuh dapat terlihat dari tidak mampunya produk-produk pertanian maupun industri bersaing dengan produ-produk industri dari negara lain, semuanya kelihatan ”cengeng” dengan globalisasi yang semakin menekan.

Dalam skala perdesaan, peninggalan pola dualisme yang ditinggalkan oleh penjajah masih nampak,utamanya pada desa-desa terisolasi. Lihat saja misalnya dengan masih adanya sistem patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya diantaranya adanya tuan tanah-elit desa yang mengusai tanah-tanah pertanian sementara petani gurem sebagai penyakap atau penyewa, demikian halnya masih eksisnya pongawa-ponggawa sawi di desa nelayan yang memiliki sumberdaya modal sementara sawi yang bermodalkan tenaga kerja, hanya mampu bekerja dengan upahan yang hasilnya hanya mampu menutupi biaya hidup minimum tiapharinya dan bahkan kadang mereka minus dan terpaksa harus meminjam ke Ponggawa dan inilah yang mengakibatkan ketergantungan, bukan hanya ketergantungan ekonomi tetapi juga ketergantungan sosial. Hal ini juga dapat dijumpai pada pertanian tambak, dimana para tuan tanah menguasi lahan-lahan pertambakan dengan cukup luas, sementara buru tambak hanya menggantungkan hidupnya dari belaskasihan tuan tambak yang mau mempekerjakannya. Hubungan tuan tanah tambak dengan para penggarap juga bukan hanya sekadar hubungan ekonomi, tetapi juga hubungan sosial budaya.

Demikian halnya dengan pemikiran Geertz mengenai involusi pertanian dan shared poverty. Walaupun tidak sama persis yang digambarkan oleh Geertz mengenai infolusi pertanian, tetapi masih nampak bahwa petani maupun masyarakat pertanian Indonesia masih tetap ”pasrah” akan keadaaan, utamanya jika berhadapan dengan pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang diambil kadang mengabaikan kepentingan petani untuk mengejar kepentingan negara dan bahkan kepentingan negara-negara kapitalis, petani tetap saja pada kondisi yang lemah dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Jika pada zamannya Geertz menggambarkan terjadinya shared poverty diakibatkan oleh tekanan penduduk yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan sumberdaya lahan di pedesaan dan menyebabkan pula fragmentasi lahan akibat pola pewarisan,maka untuk saat ini bukan hanya kelangkaan sumberdaya sebagai faktor pruduksi, tetapi dengan meningkatnya kebutuhan petani di sektor konsumsi juga dapat menyebabkan shared poverty. Misalnya saja dengan meningkatnya biaya hidup akbit meningkatnya harga-harga baik harga kebutuhan hidup maupun input, meningkatnya biaya pendidikan bagi anak-anak petani, biaya kesehatan dan lainnya menyebabkan petani tertekan dari dua sisi, yaitu sisi produksi dan sisi konsumsi. Sebagai penduduk pedesaan yang masih mempunyai ”Moral Ekonomi” akan memberikan pertolongan kepada saudara-saudaranya yang terhimpit dalam masalah dan kemudian terjadilah kemiskinan terbagi diantara mereka.


Soal-empat:

Jelaskan pandangan James Scott tentang perspektif ekonomi moral, pandangan Samuel Popkin tentang perspektif ekonomi rasional, dan pandangan sosiologi-ekonomi M. Granovetter tentang embadded-ness perekonomian kedalam batang tubuh masyarakat.

Jawab :

Menurut pandangan James C. Scott, moral ekonomi petani mucul akibat situasi dan kondisi yang dialami oleh para petani kecil di pedesaan. Bukan hanya karena para petani itu sangat menggantungkan hidupnya pada alam,utamanya yang berhubungan dengan kehidupan tanaman atau hewan yang dipeliharanya seperti iklim yang ekstirm, kekeringan maupun kebanjiran, tanah marginal, kepemilikan lahan yang sempit dan tidak mampu mencukupi pangan keluarganya, Dan bahkan jika hasil panen mereka cukup dimakan, penghidupannya pun berada di “ambang batas” sehingga sedikit saja terjadi gejala alam, seperti kekeringan, kebanjiran, hama, wabah dan sebagainya dapat membuat mereka mati kelaparan.

Demikian pula jika panen cukup, pungutan-pungutan yang dikenakan pihak luar sebagai sewa tanah, pajak, retribusi maupun upeti dapat membuat mereka serba tidak cukup. Kondisi tersebut dapat saja meyulut perlawanan-perlawanan kaum tani seperti yang telah banyak terjadi, walaupun perlawanan tersebut selalu gagal karena bersifat marginal dan “melawan sejarah” yang akhirnya kaum tani kembali tertindas.

Kegusaran dan amarah para petani yang mengakibatkan mereka melakukan perlawanan dan mempertaruhkan segala-galanya didorong oleh apa yang disebut oleh James C. Scoott sebagai Moral Ekonomi Petani, yaitu pengertian kaum tani mengenai keadilan ekonomi, defenisi kerja mereka tentang eksploitasi, serta pandangan mereka tentang pungutan-pungutan terhadap hasil produksinya, mana yang dapat ditolerir dan yang mana tidak dapat.

Sebagai petani yang hidupnya “di ambang batas” petani menurut James C. Scoott tidak dapat lagi menggunakan ilmu ekonomi untuk meningkatkan efisiensi usahatanianya dalam rangka mendapatkan keuntungan optimal. Pandangan Ekonomi petani adalah bahwa bercocok tanam itu adalah suatu usaha keras untuk menghindari hancurnya kehidupan mereka, dan oleh karena itu petani sangat tidak mudah mengambil resiko dan bahkan disebut sebagai enggan-resiko (risk-averse).

Demikian pula petani memegang perinsip “safety-first” (dahulukan selamat) yang menyebabkan petani, utamanya pada era pra-kapitalis mempunyai banyak pengaturan teknis, sosial maupun moral dalam tatanan pertaniannya. Dalam pengaturan teknis misalnya, petani menggunakan lebih dari satu jenis bibit dan bertani pada lahan yang terpencar sekadar menghindari gagalnya satu jenis bibit atau satu tempat tertentu. Sementara itu, pengaturan sosial dan moral dapat dilihat dari adanya tanah komunal yang hasilnya dapat dibagi-bagikan untuk memenuhi kebutuhan minimu, adanya petani-petani kaya yang diharapkan menjadi dermawan desa yang menyumbang setiap perayaan,menolong kerabat maupun tetangga yang kesulitan, menyumbang tempat-tempat suci dan ibadah.

Adanya pengaturan sosial di desa tersebut sebenarnya merupakan mekanisme redistribusi yang sederhana dengan prinsip bahwa semua orang di desa berhak atas nafkah hidup yang dioperoleh dari sumberdaya yang ada di desanya, sehingga semua terjamin kehidupan minimumnya. Jaminan subsistensi bukan hanya diberikan kepada desa,melainkan kepada pihakluar dan elit.

Keterjaminan subsistensi tersebut di atas yang tumbuh dari ilmu ekonomi petani jika dipandang dari segi sosial juga merupakan pola dari hak-hak atau harapan-harapan moral. Oleh karena itu akan melakukan perlawanan bukan hanya karena kebutuhan-kebutuhan minimunya tidak terpenuhi, tetapi juga karena hak-haknya telah dilanggar. Pandangan tersebut adalah perpektif ekonomi moral, menurut pandangan James C. Scoott.

Sementara itu pandangan Samuel Popkin (1989) tentang perspektif ekonomi rasional, adalah melihat bahwa petani tradisional di Asia Tengara melakukan tindakan ekonomi atas dasar prinsip yang rasional. Karena memang petani sesungguhnya adalah individu yang rasional, seperti orang lain ia juga inggin kaya. Petani adalah orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional bahkan bila kesempatan terbuka maka mereka ingin mendapatkan akses ke pasar. Jadi bertentangan dengan Scott yang menyebutkan kolonialisme dan kapitalisme merupakan musuh petani karena mengancam eksistensi komunitas melainkan karena ” eksistensi ekonomi individual”. Pada prinsipnya petani bersikap mengambil posisi yang menguntungkan dirinya. Intensifikasi dan komersialisasi pertanian justru berdampak positif daripada negatif. Kalau kemudian petani meninggalkan desa untuk pergi ke kota, pada dasarnya bukan akibat intensifikasi pertanian, melainkan karena para petani adalah orang orang rasional. Mereka selaiknya kebanyakan orang lain dan ingin kaya. Prinsipnya para petani adalah manusia yang penuh perhitungan untung rugi bukan hanya manusia yang didikat oleh nilai-nilai moral. Bila mereka bereaksi terhadap faktor-faktor yang menekan mereka maka bukan karena ” tradisi mereka ” terancam oleh ekonomi pasar yang kapitalistik namun karena mereka ingin memperoleh kesempatan ” hidup ” dalam tatanan ekonomi baru ini.

Popkin yakin bahwa bila fasilitas yang selama ini dikelola oleh pemerintah dibuat lebih terbuka maka banyak petani yang akan dapat mengambil manfaat dari hal tersebut, dengan kata lain eksternallah yang lebih menonjol dalam menyebabkan kenapa petani selalu hidupnya terkebelakang. Petani sering menjadi kelompok yang dirugikan. Petani merasa menjerit ketika harga gabah yang mereka jual tidak sebanding dengan harga pupuk yang mereka beli, harga pupuk dari tahun ketahun semakin melambung tinggi dan harga gabah malahan sebaliknya. Bahkan dalam kerangka yang lebih luas, sebelumnya, petani selalu menjadi objek segala macam kebijakan, dan jarang sekali menjadi subjek dalam kebijakan tersebut, misalnya kaum petani jarang dikutsertakan dalam menentukan kebijakan apa yang seharusnya dilakukan untuk merubah nasibnya sendiri.

Sementara itu pandangan sosiologi-ekonomi M. Granovetter tentang embaddedness (ketertambatan) perekonomian kedalam batang tubuh masyarakat, dilihat dari tindakan-tindakan ekonomi dan struktur sosial. Hal ini misalnya dapat dilihat dari ketertambatan tindakan ekonomi yang melekat pada jaringan sosial. Granovetter menjelaskan ketertambakan jaringan norma, dan kepercayaan dalam struktur sosial untuk merevitalisasi logika studi sosiologi ekonomi. Ikatan interpersonal diyakini memainkan peran penting dalam tindakan ekonomi baik dalam ekonomi pasar maupun dalam perusahaan.

Granovetter (1985) menegaskan gagasan mengenai pengaruh strutur sosial terutama yang dibentuk berdasarkan jaringan sosial dengan manfaat ekonomi, yaitu, Pertama, norma dan kepadatan jaringan (networkdensity), Kedua, lemah atau kuatnya ikatan (ties), yakni manfaat ekonomi yang ternyata didapat dari ikatan yang lemah. Dalam hal tersebut dijelaskan bahwa dalam tataran empiris, informasi baru misalnya akan mudah didapat dari kenalan baru dibanding dengan teman dekat yang umumnya memiliki wawasan yang hampir sama dengan individu, dan kenalan baru relatif membuka cakrawala dunia luar individu.

Ketiga, peran lubang struktur (structure holes) yang berada diluar ikatan lemah dan kuat ternyata berkontribusi untuk menjembatani relasi individu dengan pihak luar. Keempat, interpretasi mengenai tindakan ekonomi dan non-ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan sosial individu yang ternyata mempengaruhi tindakan ekonominya. Dalam hal ini Granovetter menyebutnya ketertambatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi sebagai akibat adanya jaringan sosial.

Demikian halnya mengenai ketertambatan kegiatan ekonomi dalam struktur budaya, ekonomi, politik bahkan agama. Dikemukakan pula adanya pengaruh yang sedemikian kuat dari struktur maupun jaringan sosial terhadap distribusi tenaga kerja, dalam hal ini dijelaskan bagaimana jaringan kerja memainkan peran penting dalam pasar tenaga kerja. Disebutkan peranan jaringan kerja dalam dinamika pasar, tertama dalam hal pergeseran bahkan penetapan harga antara pembeli dan penjual yang timbul sebagai akibat jaringan sosial. Granovetter juga menguraikan bagaimana jaringan sosial berperan sebagai sumber inovasi beserta adopsinya sebagai gambaran adanya interpenetrasi kegiatan sosial dalam tidakan ekonomi.

Bahan Bacaan :

Granovetter dan Swedberg, 1992. The Sociologi of Economic Life, Westvie Press. Smelser dan Swedberg, 1994. The Handbook of Economic Sociologi, Princeton University Press. J.C. Scott, 1981. MoralEkonomi Petani, LP2ES, Jakarta.


Soal-lima:

Di tengah pergeseran paradigma pembangunan dewasa ini, pendekatan pemberdayaan masyarakat tani tampil sebagai alternatif dari penyuluhan pertanian dalam proses pendidikan/pengembangan kemampuan petani.

(a) Jelaskan perbedaan substansi dan metode antara penyuluhan pertanian dengan pemberdayaan masyarakat petani.

Jawab :

Penyuluhan Pertanian

Salah satu defenisi penyuluhan pertanian adalah keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga dapat membuat keputusan yang benar (A.W. van den Ban dan H.S. Hawkins, 1999; 25).

Jika dilihat dari defenisi penyuluhan tersebut maka dapat pula dikatakan bahwa penyuluhan adalah suatu saranan yang digunakan untuk “membantu” petani melakukan pertimbangan-pertimbangan rasional akibat informasi yang diberikan sehingga petani tersebut dapat mengambil keputusan yang benar (secara ilmiah),

Pengambilan keputusan petani yang telah diintervensi oleh informasi yang diberikan oleh penyuluh dalam penyuluhan diarahkan agar sesuai dengan kebijakan pemerintah. Demikian pula penyuluhan diharapkan dapat mengubah cara bertani ke yang lebih baik (biasanya lebih “modern”), mengubah pengetahuan dan keterampilan petani, serta membantu petani mencapai tujuannya.

Dengan defenisi dan tujuan penyuluhan tersebut maka metode penyuluhan juga telah dirancang sedimikian rupa untuk memenuhi harapan dari defenisi dan tujuan penyuluhan tersebut yang dikenal dengan Metode mempengaruhi prilaku manusia. Metode tersebut antara lain :

1. Metode kewajiban atau paksaan, yaitu metode yang dilakukan dengan memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu. Metode ini pernah diberlakukan misalnya pada saat penerapan revolusi hijau.Petani dipaksaan untuk menggunakan benih unggul, menggunakan pupuk kimia, pestisida dan lain sebagainya.

2. Metode pertukaran; adalah metode yang digunakan dengan memberikan kompensasi kepada petani jika melaksanakan anjuran penyuluh (pemerintah) misalnya jika menanam padi maka akan disubsidi pupuknya,

3. Saran, yaitu metode yang digunakan untuk memberikan solusi terhadap suatu masalah, misalnya untuk lebih meningkatkan produksi selain menggunakan pupuk padat petani juga disarankan menggunakan pupuk cair atau pupuk tablet.

4. Mempengaruhi pengetahuan dan sikap petani secara terbuka; metode ini dilakukan dengan memberikan praktek langsung kepada petani, misalnya mempraktekkan bagaimana tatacara penggunaan alat pengendalian hama (sprayer) bagaimana cara menggunakan alat pengendalian hama tikus dan lainnya.

Dengan melihat defenisi, tujuan dan metode penyuluhan tersebut di atas maka Substansi dari penyuluhan adalah bagaimana mempengaruhi petani dari luar dengan informasi yang satu arah sehingga petani mengambil keputusan yang terarah dan bahkan petani tidak memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan atas dasar pengetahuan dan pengalamannya sediri. Hal inilah yang membedakannya dengan pemberdayaan masyarakat tani yang saat ini sedang digalakkan.

Pemberdayaan Masyarakat Petani

Perbedaan yang sangat menjolok antara penyuluhan pertanian dan pemberdayaan masyarakat tani adalah sebagaimana yang telah diuraikan bahwa penyuluhan pertanian hanya sekadar upaya membantu dan bahkan mengarahkan petani untuk mengambil keputusan dengan informasi yang diberikan satu arah. Sementara pemberdayaan (empowerment) masyarakat petani pada intinya menekankan otonomi pengambilan keputusan pada petani atau kelompok tani yang berlandaskan sumberdaya pribadi, langsung (melalui partisipasi), demokrasi, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung.

Istilah pemberdayaan itu sendiri sebenarnya “empowerment”, yang diindonesiakan, berasal dari kata dasar “empower” yang berarti: “to invest with power, especially legal power or officiallyauthority”, atau “to equip or supply with anability”. Jadi empower adalah tentang hal menguasakan, memberi kuasa, atau memberi wewenang sehingga si objek menjadi kuasa. Dari konsep aslinya, “empower” adalah proses dimana orang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan keinginan (willingness) untuk mengkritisi dan menganalisis situasi yang mereka hadapi, lalu mengambil keputusan dan tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Dengan demikian, terjadi proses dimana orang-orang didorong dan diyakinkan untuk memperoleh penuh keterampilan, kemampuan, dan kreatifitas.

Menurut Payne (1997) dalam Sahyuti, 1999 pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan agar masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Intinya adalah “kemandirian”. Pemberdayaan pada prinsipnya mengarah kepada seluruh upaya, sebagaimana juga disampaikan Bank Dunia 2005 “… to increasing the political,social or economic strength of individuals or groups”.

Pemberdayaan (Empowerment) adalah merupakan hasil dari aktifitas pembangunan, social capital dapat diposisikan sekaligus sebagai proses dan hasil. Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat petani untuk memperkuat diri dan kelompoknya dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri.

Pemberdayaan petani juga memegang prinsip atau kaidah Kaidah Membangun Dari Dalam (development from within). Proses pemberdayaan petani dititikberatkan pada upaya membangun masyarakat dari dalam melalui penggalian kembali nilai-nilai luhur yang telah dimiliki masyarakat tetapi tidak mampu lagi diterapkan sehingga menghancurkan kapital social dan menghasilkan berbagai kerusakan multidimensi, termasuk kemiskinan yang menjadi masalah utama sektor pertanian dan pedrdesaan, serta masyarakat yang terkotak-kotak (fragmented community). Pemberdayaan petani dalam konteks ini adalah membangun kembali potensi petani itu sendiri yang sudah dimiliki untuk kembali mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur tersebut yang kondusif terhadap tumbuhnya kapital social sehingga pada gilirannya akan mampu membangun kepedulian dan integritas yang tinggi yang melahirkan tata pengelolaan urusan publik yang baik serta solidaritas sosial masyarakat untuk bersatu, bahu-membahu menanggulangi masalah di wilayah masing-masing secara mandiri dan berkelanjutan, Secara singkat pembangunan dari dalam ini menekankan penggalian terhadap nilai-nilai luhur yang telah dimiliki manusia/masyarakat dan memberdayakan manusia/masyarakat untuk menjadi pelaku nilai sehingga mampu menjalankan tugas dan fungsi masing-masing di masyarakat sesuai dengan martabatnya sebagai manusia yang luhur.

Hasil yang diharapkan dari proses pemberdayaan petani ini adalah tumbuhnya kesadaran kritis dan kesiapan petani bahwa persoalan pertanian di wilayahnya hanya dapat diatasi oleh mereka sendiri, dengan cara; (1) membangun kembali nilai-nilai luhur universal sebagai landasan dari semua keputusan dan tindakan, (2) menemukan dan menggalang pribadi-pribadi yang komit dan memiliki integritas tinggi dalam menangulangi kemiskinan yg sehari-harinya merupakan pelaku nilai, (3) bertumpu pada keswadayaan masyarakat dan prinsip pembangunan organik yang berkelanjutan. Pada dasarnya substansi pemberdayaan petani dalam konteks ini intinya adalah perubahan perilaku pelaku sendiri. Peran dari penyuluh/pihak luar hanyalah sebagai pelengkap dari adanya niat, parakarsa, untuk membangun kepedulian, dan komitmen masyarakat petani itu sendiri.

Pada pemberdayaan petani juga ada prinsip atau kaidah Kerelawanan (Volunteerism). Proses pemberdayaan dengan prinsip membangun ’masyarakat dari dalam’ akan membutuhkan pelopor-pelopor penggerak dari masyarakat sendiri yang mengabdi tanpa pamrih, ikhlas, peduli, dan memiliki komitmen kuat pada kemajuan masyarakat di wilayahnya. ’Proses membangun dari dalam’ tidak akan terlaksana apabila pelopor-pelopor yang menggerakkan masyarakat tersebut yang merupakan individu atau sekumpulan individu yang hanya memiliki pamrih pribadi dan hanya mementingkan urusan ataupun kepentingan pribadi serta golongan atau kelompoknya. Dengan kata lain, perubahan perilaku masyarakat akan sangat ditentukan oleh relawan-relawan atau motor penggerak setempat yang memiliki ’moral’ yang baik dan diakui kualitaskepribadiannya, bukan hanya sekedar relawan yang pengalaman, pendidikan tinggi atau punya kedudukan yang tinggi dll.

Selanjutnya pemberdayaan menganut kaidah Pertumbuhan Alamiah (Organic Development) Siklus kegiatan pemberdayaan dirancang untuk mendorong tumbuhnya kesiapan dan ’kesadaran kritis masyarakat petani’ di wilayahnya agar mampu menanggulangi masalah-masalah yang ada di wilayah masing-masing secara mandiri dan berkelanjutan. Kaidah pertumbuhan organik menekankan bahwa dinamika pertumbuhan/ perubahan antara satu komunitas dengan yang lain berbeda sebagai konsekwensi logis dari kaidah pembangunan dari dalam, bukan transplantasi.

Secara umum hasil yang diharapkan terjadi dalam proses pemberdayaan masyarakat petani ini adalah :

Masyarakat yang sadar akan kondisinya; potensi, kelemahan, peluang dan persoalan yang masih harus diselesaikan bersama dan tumbuhnya solidaritas sosial antar warga.

Masyarakat menyadari bahwa untuk menyelesaikan persoalan bersama ini secara sistematik dan efektif dibutuhkan; (1) relawan-relawan sebagai pelopor, (2) masyarakat yang terorganisasi (organized community), (3) dan kepemimpinan yang baik pula serta kelompok sasaran yang terorganisasi dgn baik pula.

(b) Uraikan perbedaan proses dan mekanisme komunikasi dan perubahan sosial yang terjadi dalam penyuluhan pertanian dan pemberdayaan masyarakat tani.

Jawab :

Proses dan mekanisme komunikasi yang terjadi dalam penyuluhan adalah proses dan mekanisme komunikasi satu arah. dimana penyuluh pertanian sebagai sumber informasi dan petani sebagai penerima informasi. Asumsi dasar dalam proses komunikasi penyuluhan yang selama ini dilaksanakan adalah menganggap bahwa petani merupakan sosok yang tidak”terisi” dengan informasi teknologi, sehingga perlu diisi dan oleh karena itu perlu “diberitahu-diajarkan” teknologi. Dalam proses komunikasi, penyuluh sebagai agen perubahan berada pada posisi “serba tahu” dan petani sebagai adopter “serba tidak tahu” sehingga mekanisme komunikasinya dirancang hanya satu arah. Ibaratnya penyuluh sebagai seorang guru sementara petaninya sebagai seorang murid (penyulu mengajar-petani diajar), penyuluh mempengaruhi-petani dipengaruhi dan penyuluh mengubah-petani dirubah, sehingga demikian mekanisme komunikasinya berciri instruktif, memberi petunjuk, meskipun caranya kadang cukup persuasif (Salman, 2003).

Walaupun demikian, pada periodenya (Bimas, Inmas, Insus dan Supra Insus) mekanisme komunikasi tersebut sangat efektif. Terbukti dari adposi inovasi teknologi yang diserapoleh patani dari para penyuluh seperti penggunaan pupuk an-organik, pengedalian hama penyakit, pengunaan varietas unggul (hibrida), pengairan, pasca panen sehingga tujuan pembangunan pertanian saat itu, yaitu peningkatan produksi dapat tercapai.


Proses komunikasi dalam penyuluhan digambarkan sebagai berikut :

Sumber Teknologi (Inovasi)

- Lembaga Penelitian

- Perugruan Tinggi

Petani melalui kelompk tani sebagai Adopter

Diharapkan berubah

dengan informasi dari luar:

- Menggunakan benih

- Pemupukan

- Pemberantasan hama

- Pengarian

- Pascapanen dsb


Yang menjadi perbedaan mendasar sistem komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat tani antara lain pada perinsip komunikasi, yaitu :

1. Sumber Informasi. Jika dalam penyuluhan hanya penyuluh yang dianggap mempunyai informasi yang ditransfer ke petani, maka dalam pemberdayaan masyarakat semua orang yang terlibat adalah sebagai sumber informasi, bukan hanya penyuluh yang mempunyai informasi, mungkin dari hasil-hasil penelitian ilmiah, tetapi juga petani adalah sumber informasi yang sangat berharga terutama dari segi pengalaman yang telah puluhan tahun dan turun temurun menjadi petani.

2. Metode Komunikasi, Jika dalam penyuluhan pertanian metodenya instruktif, antara penyuluh guru-petani murid, maka dalam pemberdayaan masyarakat tidak dikenal adanya guru dan murid yang ada adalah ”mitra belajar” dan fasilitator. Penyuluh dengan kemampuan yang dimilikinya dan sebagai orang luar difungsikan sebagai fasilitator yang menfasilitasi komunitas petani memecahkan masalahnya dan mewujudkan tujuannya. Interaksi komunikasi yang dibangun dalam pemberdayaan masyarakat bercirikan inter-peratisipatif, belajar-bersama dan oleh karena itu sistem komunikasinya bersiafat dialogis.

Secara skematik proses dan mekanisme komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat tani digambarkan sebagai berikut.


(c) Perjelas prinsip rekayasa sosial (social engineering) yang diterapkan dalam penyuluhan pertanian dan prinsip pembelajaran sosial (social learning) yang diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat tani.

Jawab :

Rekayasa sosial (social engineering) yang diterapkan dalam penyuluhan pada prinsipnya bertujuan merubah keadaan sosial, dimana petani dianggap sebagai sosok yang serba-tidak tahu, dan berada dalam “kegelapan” sehingga membutuhkan “suluh penerang”. Petani yang merupakan sasaran dari rekayasa sosial tersebut, harus diubah oleh pihak luar, petani diposisikan sebagai penerima inovasi (Adopter) yang bisa diisi sehingga mengadopsi teknologi dari luar tersebut dan penyuluh sebagai agen pembaharuannya (saluran adopsi).

Pada rekayasa sosial ini, petani dikelompokkan dalam suatu organisasi yang baku dan terstruktur. hal tersebut dilakukan guna efektivitas dan efisiensi dalam proses adopsi. Satu-satunya model organisasi petani yang mendapatkan fasilitasi penyuluhan adalah kelompok tani. Sementara hubungan antar kelompok tani dan penyuluh berlangsung a-simetris, Kelompok tani diposisikan sebagai subyek dan penyuluh sebagai Objek dari proses perubahan sosial tersebut. Petani diajar, dipengaruhi dan dirubah sementara penyuluh memberikan instruksi, dan petunjuk.

Sementara itu pembelajaran sosial (social learning) yang diperankan pemberdayaan masyarakat tani adalah dimulai dengan mengakui eksistensi petani sebagai manusia yang mempunyai jati diri, mempunyai potensi yang sangat besar yang jika digali secara dalam akan menghasilkan suatu perubahan baik sebagai individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sosial petani tidak lagi dianggap sebagai objek pembangunan yang begitu saja menerima informasi dan pembangunan yang disampaikan oleh penyuluh, Petani diposisikan sebagai subjek dari pembangunan pertanian yang tentunya mempunyai hak untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil-hasil pembanguan tersebut. Penyuluh sebagaimana juga pendamping petani lainnya diposisikan sebagai fasilitator yang menfasilitasi munculnya potensi-potensi yang ada dalam diri petani maupun masyarakat tani.

Tidak seperti dalam rekayasa sosial, yang mebakukan bahwa satu-satunya organisasi petani adalah kelompoktani yang dibentuk secara struktural, pada pembelajaran sosial secara konseptual tidak ada satu bentuk kelembagaan khusus, yang ada hanya elemen-elemen tertentu agar organisasi tersebut berhasil. Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya akseskepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal. Oleh karena itu dalam pembelajaran sosial petani dapat berhimpun dalam organisasi komunitas, atau organisasi masyarakat warga, yang fleksibel-tidak baku-formal.

Sehubungan dengan Organisasi masyarakat petani yang terbangun dalam upaya membangun kesadaran suatu komunitas/masyarakat dan sekaligus menata kembali tatanan sosial yang ada maka prinsip utama adalah pertisipatif, yaitu organisasi yang secara langsung melibatkan semua pihak yang terkait dalam proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan dengan tetap mendudukkan komunitas/masyarakat petani sebagai pelaku utama, artinya keptusan-keputusan penting yang langsung menyangkut hidup mereka sepenuhnya ada di tangan komunitas/masyarakat.

Organisasi partisipatif ini merupakan model kelembagaan yang melibatkan komunitas pemanfaat sebagai pelaku utama untuk secara aktif mengambil langkah langkah penting yang dibutuhkan untuk memperbaiki hidup mereka.

Kelembagaan partisipatif ini juga merupakan koreksi dan sekaligus bagi pengembangan kelompok tani memadukan dua kebijakan yaitu kebijakan dari atas, dimana keputusan-keputusan dirumuskan dari atas dan kebijakan dari bawah, yang menekankan keputusan di tangan petani sendiri yang kedua-duanya memiliki kelemahan masing-masing. Dengan kata lain kelembagaan partisipatoris tidak berarti meniadakan peran pelaku luar; ahli, pemerintah, dll tetapi mendudukkan mereka sebagai fasilitator dan katalis dalam suatu proses yang sepenuhnya dikendalikan oleh komunitas/masyarakat petani.

Kelembagaan partisipatoris ini mengembangkan kebijakan ketiga dengan cara menggabungkan keuntungan dan membuang kerugian masing-masing ancangan ; top down dan bottom up sehingga diperoleh ancangan ketiga yang disebut “ancangan partisipatoris” yang mempertemukan gagasan makro yang bersifat "top down" dengan gagasan mikro yang kontekstual dan bersifat "bottom up". Kebijakan ini memungkinkan dilakukannya perencanaan program yang dikembangkan dari bawah dengan masukan dari atas.

Ciri-ciri kebijakan partisipatoris adalah :

1. Pelaku eksternal (Katalis Pembangunan) bersama petani merumuskan persoalan yang dihadapi.

2. Masyarakat petani aktif mengambil sikap dan tindakan untuk mengatasi persoalan tersebut serta menentukan cara menangani persoalan tersebut.

3. Pelaku eksternal (Katalis Pembangunan/penyuluh) bersama masyarakat menetapkan sumber daya yang dapat dialokasikan untuk memecahkan persoalan tersebut.

4. Pelaku eksternal (Katalis Pembangunan/penyuluh) bersama masyarakat memutuskan rencana dan program pelaksanaan untuk mencapai tujuan pemecahan persoalan tersebut di atas.

5. Pelaku eksternal (Katalis Pembangunan/penyuluh) lebih menekankan pada upaya untuk mendorong masyarakat mengembangkan diri sendiri untuk mampu mengambil keputusan yang rasional, dan merencanakan perbaikan masa depan mereka melalui tata organisasi yang berakar dalam masyarakat.

Untuk menjamin terjadinya proses belajar dari semua pelaku pembangunan baik di sektor pemerintah, swasta dan masyarakat maka langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat tani mencakup kegiatan di berbagai tingkat sebagai berikut ini.

Pembelajaran sosial dalam aplikasinya memiliki siklus, sebagaimana juga siklus dalam pembangunan partisipatif, yaitu Pertama menfasilitasi petani memahami dirinya dan lingkungannya, penyuluh menfasilitasi petani/kelompok tani melakukan penggalian potensi dan masalah yang dihadapi, secara teknis dapat dilakukan yang namanya pemetaan swadaya, yaitu suatu kegiatan yang bertujuan agar potensi dan masalah-masalah yang ada dalam diri dan lingkungan sekitar dapat tereksploitasi, tentunya potensi dan masalah ini adalah dilihat dari pandangan petani/kelompok tani sendiri, penyuluh hanya sebagai fasilitator.

Sebenarnya inti dari siklus ini adalah kaidah Membangun Dari Dalam (development from within). Proses ini dititik beratkan pada upaya membangun masyarakat tani dari dalam melalui penggalian kembali nilai-nilai luhur yang telah dimiliki masyarakat tetapi tidak mampu lagi diterapkan sehingga menghancurkan kapital social dan menghasilkan berbagai kerusakan multidimensi, termasuk kemiskinan dan masyarakat yang terkotak-kotak (fragmented community). Pemberdayaan masyarakat tani dalam konteks ini adalah membangun kembali potensi manusia itu sendiri yang sudah dimiliki untuk kembali mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur tersebut yang kondusif terhadap tumbuhnya kapital social sehingga pada gilirannya akan mampu membangun kepedulian dan integritas yang tinggi yang melahirkan tata pengelolaan urusan publik yang baik serta solidaritas sosial masyarakat untuk bersatu, bahu-membahu menanggulangi kemiskinan di wilayah masing-masing secara mandiri dan berkelanjutan, Secara singkat pembangunan dari dalam ini menekankan penggalian terhadap nilai-nilai luhur yang telah dimiliki manusia/masyarakat tani dan memberdayakan manusia/ masyarakat tani untuk menjadi pelaku nilai sehingga mampu menjalankan tugas dan fungsi masing-masing di masyarakat sesuai dengan martabatnya sebagai manusia yang luhur.

Siklus kedua, setelah potensi dan masalah tersebut dapat diidentikasi, tentunya membutuhkan skla perioritas, oleh karena itu kegiatan prioritasisasi partisipatif untuk menyusun daftar prioritas masalah.

Ketiga, penyusunan dan merancang rencana aksi sehubungan dengan perioritas masalah. Dalam perencanaan tersebut petani secara rinci membuat kegiatan disertai dengan input-input dan tujuannya masing-masing. Idealnya rencana kegiatan yang telah disusun secara partisipatif diuji publik terhadap masyarakat tani, sehingga unsur-unsur transparansi dan partisipasi lebih bermakna.

Keempat, siklus implementasi kegiatan. Oleh karena itu penyukuh menfasilitasi sehingga petani/kelompok tani dapat melaksanakan kegiatannya sendiri secara profesional, terukur dan akuntable. beberapa sumberdaya dari luar pada siklus ini mungkin harus difasilitasi oleh penyuluh untuk diakseskan, misalnya saja sumber-sumber pendanaan, sumber tenaga terampil yang tidak diperoleh dari komunitas sendiri dan lain-lain.

Kelima, monitoring siklus evaluasi partisipatif. Sebagaimana halnya dalam siklus pemberdayaan masyarakat, petani/kelompok tani tentunya difasilitasi oleh penyuluh agar melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan. Petani perlu memberikan penilaian dengan tolok ukur yang telah ditetapkan dalam perencanaan, sesuai, kurang sesuai atau tidak sesuai dengan rencana.

Keenam, refleksi. pada siklus ini seluruh pelaku,petani maupun penyuluh akan mengambil hikmah darisiklus kegiatan yang telah dilaksanakan. Hikmah dari siklus tersebut merupakan catatan-catatan untuk perbaikan siklus kegiatan pembelajaran sosial berikutnya.

Perlu disampaikan pulan bahwa dalam setiap siklus tersebut di atas penyuluh juga perlu menfasilitasi adanya peningkatan kapasitas misalnya dengan melaksanakan kegiatan pelatihan-pelatihan pra-siklus. Hal ini dilaksanakan dalam rangka memberikan kualitas terhadap siklus yang akan berjalan.

Sebagai perbandingan dapat pula dilihat siklus pembangunan pertanian pertisipatoris utamanya di tingkat komunitas petani sebagai berikut:

a Persiapan sosial

Langkah ini merupakan langkah awal sebelum memulai pembangunan partisipatoris, yaitu suatu upaya untuk mendekati para pimpinan dan tokoh masyarakat, mengenali persoalan dan kebutuhan masyarakat, dan upaya untuk memulai membahasnya dengan para pimpinan dan tokoh masyarakat tersebut.

Hasil

Para pimpinan dan tokoh masyarakat sepakat untuk menangani persoalan yang dihadapi masyarakat/komunitas.

b Survai Swadaya (SS)

Melalui SS ini beberapa anggota masyarakat mulai diajak dan didampingi untuk mengenali persoalan yang dihadapi kampung/desa mereka dan potensi yang mungkin dapat dikembangkan dari sumber daya yang ada untuk mengatasi persoalan tersebut.

Hasil

Masyarakat sadar akan kondisi mereka dan daftar persoalan serta potensi komunitas/lingkungan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman)

c Kesepakatan persoalan yang akan ditanggulangi

Pada tahap ini persoalan yang ditemukan melalui SS dibahas dalam suatu rembug kampung/desa untuk ditetapkan mana dulu yang akan ditangani.

Hasil

Daftar dan urutan prioritas persoalan yang disepakati untuk ditangani.

d Kesepakatan tingkat perbaikan yang ingin dicapai

Setelah adanya kesepakatan persoalan yang akan ditanggulangi langkah selanjutnya adalah menetapkan bersama tingkat perbaikan yang akan/ingin dicapai. Kesepakatan tingkat perbaikan ini merupakan tujuan akhir yang akan dicapai. Pada tahap ini harus diupayakan terjadinya kebulatan tekad untuk bersama-sama saling tolong menolong mencapai tujuan tersebut.

Hasil

Gambaran kondisi yang ingin dicapai setelah pembangunan yang disepakati sebagai tujuan akhir.

e Kesepakatan tentang hambatan-hambatan yang mungkin ditemui dalam mencapai tingkat perbaikan yang telah disepakati tersebut diatas.

Pada tahap ini sebenarnya yang terjadi adalah proses mawas diri "mengapa tujuan akhir tersebut di atas tidak pernah terjadi sebelumnya ?" Hal ini penting dilakukan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi di kampung/desa tersebut sehingga dari dahulu tidak pernah mencapai kondisi seperti yang diharapkan di atas.

Hasil

Daftar antisipasi hambatan yang perlu disingkirkan agar tercapai tujuan akhir yang disepakati tersebut di atas. Hambatan ini dapat bersifat fisik, aturan, tradisi, dsb

f Kesepakatan penggalangan dan alokasi sumber daya untuk menciptakan dan menumbuhkan potensi pembangunan.

Pada tahap ini dilakukan kesepakatan penanganan penggalian, penggalangan dan pengembangan sumber daya sebagai potensi pembangunan untuk di alokasikan dalam proses pemecahan persoalan.

Hasil

Daftar berbagai sumber daya (internal/eksternal) yang dapat dikerahkan untuk menanggulangi persoalan dan mencapai tujuan akhir yang telah disepakati.

g Kesepakatan rencana pemecahan persoalan

Pada tahap ini dipilih dan disepakati alternatif penanggulangan persoalan dalam bentuk Usulan Rencana Kerja, mencakup

· Usulan rencana teknik (kegiatan yang akan dilakukan)

· Usulan pola pendanaan (pendanaan/pembiayaan)

· Usulan manajemen/pola penanganan (kelembagaan)

· Usulan pengelolaan lanjut (kelembagaan)

Hasil

Rencana Kerja Pembangunan (program pembangunan/development program).


h Pelaksanaan

Pola penanganan pelaksanaan ini telah disepakati pada tahap sebelumnya, maka pada tahap ini hanya tinggal melaksanakan sesuai dengan kesepakatan. Sebaiknya proses pelaksanaan ini menerapkan ancangan manajemen terbuka, dimana segala informasi dengan mudah dapat dibaca/diketahui oleh semua anggota masyarakat yang terlibat/terkena, misalnya dengan menuliskan pada papan tulis di Balai Desa segala sesuatu yang perlu diketahui masyarakat, nilai bantuan, kontribusi tiap warga, sumbangan dari pihak lain, penggunakan dana, dll.

Hasil

Sesuai yang direncanakan (fisik bangunan/lingkungan, kegiatan usaha, sistem perkreditan yang lebih baik, dsb).

i Evaluasi internal

Tahap ini sering kali dilupakan pada hal pada tahap inilah sebenarnya terjadi proses peralihan dari pengalaman fisik menjadi pengalaman mental yang sangat bermanfaat dalam mengubah perilaku

Hasil

Pendalaman pemahaman dan perubahan sikap

j Pemanfaatan hasil pembangunan.

Pada tahap inilah terjadi proses berlanjut yang bersifat siklik dan organik, bila yang dibangun fisik maka akan ditandai dengan adanya pemeliharaan, perbaikan, penambahan, perombakan, pengulangan sebagai bukti perubahan sikap dan perilaku, tetapi bila yang dibangun adalah kegiatan usaha maka akan ditandai dengan membaiknya ekonomi keluarga dan bertumbuhnya kegiatan ekonomi kawasan, dsb.

Semuanya ini hanya akan terjadi bila tercapai kemantapan kelembagaan yang mengelola seluruh kegiatan tersebut dari awal sampai akhir.

Hasil

Pertumbuhan atau perubahan yang organik baik dalam bentuk fisik lingkungan maupun kegiatan ekonomi atau tatanan sosial yang ada

Hasil yang diharapkan dari proses pemberdayaan masyarakat tani ini adalah tumbuhnya kesadaran kritis dan kesiapan masyarakat bahwa persoalan-persoalan pertanian di wilayahnya hanya dapat diatasi oleh mereka sendiri, dengan cara; (1) membangun kembali nilai-nilai luhur universal sebagai landasan dari semua keputusan dan tindakan, (2) menemukan dan menggalang pribadi-pribadi yang komit dan memiliki integritas tinggi dalam mengatasi masalah yg sehari-harinya merupakan pelaku nilai, (3) bertumpu pada keswadayaan masyarakat dan prinsip pembangunan organik yang berkelanjutan.

Bahan Bacaan :

Darmawan Salman, Paradigma Penyuluhan Pertanian, Makalah pada Semiloka Revitalisasi Kelembagaan Penyuluhan Pertanian dan Kerangka Otonomi Daerah, 11 Agustus 2003, Sahyuti, Penerapan Pendekatan Pemberdayaan dalam KegiatanPembangunanPertanian : Perbandingan Kegiatan P4K, PIDRA, P4MI, dan Primatani, Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 25 No. 2, Desember 2007 : 104 – 116.A.W. van den Ban dan H.S.Hawkins, 1999. Penyuluhan Pertanian, Kanisius. Randy R. Wrihatnolo dan Rian Nugroho Dwijowijoto, 2007. Manajemen Pemberdayaan; sebuah pengantar dan panduan untuk pemberdayaan masyarakat, Elex Media Komputindo.